Kalyani Kumiayi : Beberapa hari yang lalu saya membaca di harian Suara Merdeka, ada satu artikel yang berjudul JANGAN MALU MENJADI SIMBOK, judul yang sangat membumi dan sekaligus membuat buku kuduk saya berdiri ( apa iya sudah banyak perempuan yang sekarang ini malu karena HANYA menjadi simbok ? )
Di dalam ulasan tersebut ada kata-kata dari seorang guru besar emeritus Universitas Airlangga Surabaya yang sangat menarik. “Bagi saya , kita harus mulai dari yang kecil Demokrasi misalnya, harus dimulai dari family ( keluarga ), Democracy on the heart of the family. Apa yang saya lakukan adalah menyelamatkan negaraku sendiri. Negaraku itu bukan negaranya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, tapi ‘negaraku’ itu keluargaku” (Kompas, 27 Juni 2008 )
Konsep berpikir yang sangat sederhana, tetapi membutuhkan banyak pengorbanan dan keberanian yang luar biasa. Mengapa saya berkata demikian ?
Bagi saya, orang awam, melihat potret para pemimpin bangsa ini, orang-orang hebat, orang – orang yang luar biasa pintar, saya sering bertanya, “Lah mengapa kalau para pimpinan kita ini udah dokter, professor, sarjana hukum, sarjana lain2 kok masih saja negeri ini melarat ya ? Kok ya masih saja terus orang tega korupsi ya, padahal mereka orang – orang yang berotak cemerlang, orang-orang yang saya yakin bisa membaca dengan lengkap instruksi atau juklak pelaksanaan suatu program dengan tepat. Mereka orang orang yang berpengetahuan luas luar biasa, atau jangan – jangan waktu sekolah dulu ada mata pelajaran tentang korupsi, abuse of power ? Mengapa mereka memilih untuk beriklan besar2an di media televisi dengan begitu seringnya , lhah mbok ya uangnya buat nyumbang korban bencana banjir saja yo … khan lebih kelihatan manfaatnya. (itu pikiran sederhana dari saya lho … )
Setelah merenung beberapa saat ( maklum bukan professor, jadi butuh waktu agak lama untuk berpikir ), saya kemudian menyimpulkan , “Berarti ada yang salah disini, pengetahuannya tidak salah, tapi saya kira mind set ( cara berpikir ) mereka yang salah. “ Pertanyaan kemudian yang muncul adalah ‘Dimana ya ada sekolah yang mengajarkan bagaimana caranya mempunyai mind set yang benar ?’
Disinilah peran ‘SIMBOK’. Disinilah peran keluarga.
Terkadang tanpa disadari karena kesibukan sebagai seorang ibu, kita semua mengandalkan sekolah sebagai satu-satunya media dimana anak kita akan ‘dididik untuk menjadi orang besar’
Sebagai seorang ayah, karena kesibukan mencari nafkah, kita mengandalkan istri sebagai ibu dan penanggung jawab sepenuhnya perkembangan anak-anak kita.
Saling ‘mempercayakan’ kepada pihak pihak lain inilah yang menyebabkan kekacauan. Padahal dalam kehidupan sehari-haripun kita sudah sering kali mengeluh dan berkata, ‘Opo – opo ki nek orang dikerjake dhewe yo dadine ora genah ngene iki !” Lhah !!! itu saja dalam konteks pekerjaan, lah ini tentang anak-anak, tentang generasi penerus kita, kok ya bisa ya kita pasrahkan begitu saja ?
Lembaga pendidikan adalah tempat mendapatkan pengetahuan , tempat mendapatkan resep adonan roti, lingkungan adalah tempat membeli bahan – bahan yang diperlukan, sedangkan keluarga adalah tempat memanggang adonan tersebut. Keluargalah yang menentukan apakah roti yang dihasilkan pas, matang dan enak, atau hanya akan menjadi gosong , arang dan ahkirnya dibuang.
Jika seorang anak mempelajari tentang arti kata ‘alasan’ , maka simbok yang mengajarkan bahwa ‘bukan hanya untuk membenarkan diri sendiri’
Jika seorang anak mempelajari tentang arti kata ‘memuji’, maka simbok yang mengajarkan bahwa ‘bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri’
Jika seorang anak mempelajari tentang arti kata ‘negosiasi’, maka simbok yang mengajarkan bahwa ‘bukan hanya untuk bisa menerima komisi’
Jika seorang anak mempelajari tentang arti kata ‘kekayaan’, maka simbok yang mengajarkan bahwa ‘bukan hanya untuk dibawa mati’
Jika seorang anak mempelajari tentang arti kata ‘kekuasaan’, maka simbok yang mengajarkan bahwa ‘bukan hanya untuk menekan pihak yang lemah’
Jika beberapa hal diatas dilakukan oleh para simbok dengan benar, dengan konsisten, dengan berani melakukan apa yang mereka katakan sendiri, maka saya YAKIN bangsa ini tidak perlu terlalu lama menunggu datangnya perubahan.
Jika generasi muda dididik dengan pengertian benar, mereka akan tumbuh dengan nurani yang benar, dan pada saatnya berlaku dengan benar, dan kemudian hanya bisa melakukan yang benar, karena itu sudah menjadi karakter kebiasaan hidup.
Kesetaraan gender sedang didengung-dengungkan, saya sangat amat mendukung, karena dengan majunya seorang figur ‘simbok’ menjadi pimpinan dapat sangat menginspirasi banyak perempuan-perempuan Indonesia lain untuk ikut berkarya.
Tetapi jika harus memilih, saya memilih di Indonesia lebih banyak :
- Simbok-simbok yang hanya berjualan di pasar, tetapi punya cukup waktu untuk meninabobokan anak mereka dengan cerita tentang pandawa dan kurawa
- Simbok–simbok yang hanya berpakaian sederhana, tetapi punya cukup waktu untuk bersama-sama anak mereka mengerjakan tugas sekolah yang ada.
- Simbok–simbok yang rela mengantuk dan berwajah kuyu demi menemani anak-anak mereka belajar untuk mempersiapkan ujian dan bahkan membuatkan kue camilan kecil
- Simbok–simbok yang rela mengorbankan uang belanja kosmetik dan perawatan salon mereka demi membantu anak mereka yang bergabung dengan karang taruna yang hendak membangun perpustakaan desa.
- Simbok–simbok yang rela tidak mengenakan baju dan tas jutaan rupiah karena anaknya ingin mengadakan syukuran ulang tahun dengan mengambil anak asuh.
Bagi semua simbok-simbok di Nusantara,
Semoga pada saatnya ketika alam mendukung , akan ada bibit bibit muda pejuang bangsa yang bernurani lahir dari tanganmu.
Salam hormat luar biasa !!!!!!!