Kalyani Kumiayi : Di salah satu kesempatan waktu bisa mengambil cuti dari semua kesibukan kerja yang ada, saya menyempatkan untuk berjalan-jalan dan membagi sedikit rejeki yang ada bagi para korban bencana gempa di Jogja. Diantara puing, debu dan udara yang panas saya berpapasan dengan seorang anak perempuan yang sedang kerepotan menggendong adik kecilnya.
Dahinya terdapat bekas luka yang mulai mengering. Ternyata akibat dari tertimpa genteng rumahnya yang sempat ‘terbang’ pada saat gempa terjadi. Setelah menyerahkan sebungkus nasi dan air mineral, saya ajak duduk, dan kami berbincang tentang kejadian gempa yang dialaminya.
Beberapa saat setelah air matanya tertumpah mengenang betapa menakutkan kejadian tersebut, ada satu kalimat yang dia ucapkan dan sampai saat ini masih terus terngiang di telinga saya (dia ucapkan dalam bahasa Jawa), “tidak bu, kalau Tuhan masih memberi saya kesempatan untuk selamat, pasti saya juga bisa melewati cobaan ini.”
Dalam perjalanan pulang, di dalam mobil saya menangis dan terhenyak. Timbul pertanyaan apakah ungkapan tersebut berasal dari suatu kepasrahan atau keyakinan akan adanya kesempatan lain ? Bagaimana bisa seorang anak perempuan kecil di desa yang terpencil, mempunyai pandangan yang begitu kuat ? Bagaimana kata ’pasti’ tersebut mampu diucapkannya dengan keyakinan ? Bagaimana ia ternyata tetap bisa bertahan dalam keadaan yang bahkan menurut saya sudah sangat nihil ?
Disanalah saya teringat satu cerita yang pernah saya baca. Tersebutlah seorang anak yang mengeluh karena sepatunya tampak kusam dan tidak lagi ’bergengsi’ untuk dipakai ke sekolah. Ibunya hanya terdiam ketika mendengar anaknya mengeluh. Selang beberapa waktu, ketika mengantar anaknya ke sekolah, mereka bertemu dengan seorang ibu lain yang sedang mendorong kursi roda buah hatinya. Sang Ibu menahan anaknya untuk berhenti sesaat. Dengan sangat halus sang Ibu berkata kepada anaknya, ”Kasihan ya anak itu. Dia bahkan sama sekali tidak pernah punya kesempatan untuk bisa memakai sepatu.’’
Bulu kuduk saya merinding. Begitu banyak hal yang kontroversial di dunia ini. Sang ibu itu dengan sangat bijak telah memilih waktu yang tepat untuk menjabarkan pengertian yang begitu dalam kepada anaknya. Beliau memilih untuk menunjukkan fakta dalam hidup, bahwa ternyata masih begitu banyak hal yang patut disyukuri atas hidup yang kita miliki saat ini.
Saya mempunyai keyakinan bahwa yang terungkap dari anak perempuan yang tertimpa bencana gempa tersebut adalah sebuah harapan. Dia berusaha memotivasi dirinya sendiri. Kalaupun pernyataan tersebut pada awalnya datang sebagai wujud kepasrahan manusia terhadap cobaan dari Tuhan, dia cukup tahu bahwa yang bisa menguatkan dirinya hanyalah dirinya sendiri.
Tidak cukup orang hanya berhenti pada kepasrahan, karena hidup masih harus berlanjut. Setelah rumah dan orangtuanya turut menjadi korban, hidup masih tetap membiarkan dia dan adik kecilnya melanjutkan perjalanan. Inilah anugerah yang tersisa dan patut disyukuri. Kehidupan itu sendiri adalah sebuah anugerah yang paling istimewa.
Di era yang serba modern saat ini begitu banyak fasilitas yang disediakan oleh kondisi masyarakat disekitar kita. Kegigihan semacam ini sangatlah kurang di dalam diri anak-anak kita. Ketika semua sudah terbiasa dengan yang serba instans. Anak-anak kita tidak lagi mempunyai sense of fighting yang kuat.
Ketika anak-anak mengeluhkan tentang kurang trendy-nya ponsel yang mereka miliki, ada banyak anak yang bahkan tidak lagi dapat berkomunikasi dengan orang tua dan saudaranya, karena sudah dipisahkan oleh kematian.
Mungkin terdengar ekstrim, tapi saya percaya bahwa rasa syukur dan keberanian untuk mengatakan, “Sungguh, atas semua yang saya miliki saat ini, saya sudah sangat bersyukur” adalah awal memberikan pengertian yang baik bagi anak-anak kita. Berterima kasih atas semua yang sudah ada, dan mempergunakan apa yang sudah ada dengan sebijak mungkin, harus mulai ditanamkan pada anak-anak kita dari usia dini. Dengan begitu mereka akan kuat secara mental untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam perjalanan-perjalanan kecil mereka ke depan.*