Kalyani Kumiayi : Beberapa hari yang lalu , saya bercakap-cakap dengan seorang teman lama yang mengeluh seluruh hidupnya sedang kacau balau tidak terkira. la menghadapi perceraian, dan 2 anaknya yang sedang beranjak remaja tiba-tiba memutuskan untuk menjadi ‘pemberontak’. Kesibukan membenahi mental antara rasa takut, kehilangan, dan keminderan menyebabkan ia kehilangan pekerjaan.
Sebagai seorang teman lama saya tidak dapat berpura-pura untuk sepenuhnya mengerti apa yang sedang dialaminya. Ini karena memang saya tidak menjalani kehidupan seperti yang dialaminya.
Saya hanya bisa menawarkan empati untuk mendengarkan keluhannya. Satu box tissue dan segelas teh yang hangat, dan siaplah mendengarkan cerita hidup dan kesesakan jiwanya.
Percakapan panjang dimulai dari penyesalannya atas pilihan pasangan hidupnya. Pada awal berumah tangga betapa sulit menyisihkan uang setiap bulannya untuk cicilan rumah, pekerjaan mencari nafkah yang tiada pernah berhenti selama 10 tahun perkawinan, sampai betapa repotnya mengurus dan membesarkan 2 orang anak. Belum lagi ditambah kebiasaan suaminya yang akhir-akhir ini menjadi seorang pembohong.
“Jika dari awal kamu sudah tahu bahwa suamimu tidak akan bisa ‘ngopeni’, kenapa tetap memilihnya? Bukannya dulu si B dan si C juga suka kamu setengah mati,” tanya saya memotong ceritanya.
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak lagi ada gunanya karena semuanya sudah terjadi. Lebih dikarenakan rasa ingin tahu saya tentang ‘kriteria’ yang betul untuk memilih pasangan hidup. Dia menjawab, “Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, bagaimana mampu menolak kata hati. Seperti kata orang, cinta itu memang tidak pernah pakai logika.”
Saya terdiam. Satu gelas teh habis.
Cerita dilanjutkan mengenai anak-anaknya yang sekarang tiba-tiba menjadi ‘barbar’. Sejak suaminya tidak lagi tinggal di rumah, anak-anak datang dan pergi seenaknya. Seakan rumah sama dengan hotel; sekedar tempat transit. Mereka jadi lepas kendali.
Sebagai seorang ibu ia merasa sangat kecewa dan sakit hati. Naluri keibuannya yang telah membaktikan diri jiwa raga untuk rnenjaga dan membesarkan anak-anaknya sebaik mungkin, seakan ditampar dengan keras saat ini. Untuk bertindak keras, dia menyatakan tidak sanggup. Alasan yang diungkapkannya sederhana; seburuk apapun yang dilakukan, mereka tetap anak-anaknya.
Satu gulung tissue habis. Dengan mata dan hidung yang memerah ia berdiri dan memeluk saya lama. Lirih ia bilang, ”Terimakasih ya, sudah mau jadi ‘keranjang sampah’ ku. Aku tahu besok hidup tetap harus berlanjut. Doakan aku kuat ya …. perasaanku sudah lega, langkahku sudah enteng. Aku pulang dulu, menyiapkan makan untuk anak-anak, ya.”
Saya tak berkata apapun. Senyum getir saya mengantar kepergiannya, saat itu.
Dari percakapan itu ada sebuah kalimat yang mengganggu pikiran. ‘Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, bagaimana mampu’.
Dalam benak saya, jika saja dia mulai mengajarkan pada dirinya sendiri untuk membalik pernyataan tersebut, maka ia tentu akan jadi perempuan yang jauh lebih baik. Pernyataan itu akan jadi lain pengaruhnya jika diubah menjadi ‘saya sebenarnya mampu, namun saya tidak mau’.
Aku sebenarnya mampu untuk membalas kebohongan suamiku dengan cara yang lebih menyakitkan, tetapi aku tidak mau karena menurutku itu tidak bijak. Jika demikian siapa yang berada diatas angin ? Bukankah dengan begitu self esteem anda akan lebih ter boost ?
Aku sebenarnya mampu untuk bertindak keras terhadap anak-anakku , tetapi aku memilih untuk mendudukan mereka sebagai orang dewasa yang akan bersama-sama melewati semua masa sulit ini ? Bukankah ini akan lebih menjadi daya dukung daripada beban ?
Ketika pengertian semacam itu terus menerus mampu ditanamkan dalam pikiran, maka yang terjadi kemudian adalah timbulnya kekuatan dari dalam diri (inner strength).
Saya merasa bahwa saya orang yang lapang dada. Saya adalah ibu yang welas asih. Saya adalah pekerja yang bertanggung jawab. Dibutuhkan keberanian untuk mencintai diri sendiri secara positif. Dibutuhkan konsistensi untuk membela diri sendiri secara sportif sehingga dalam perjalanan hidup ini kita akan menjadi kekuatan itu sendiri. Bahwa dengan atau tanpa dukungan orang lain atau lingkungan anda sekali pun saat ini, anda boleh berbangga hati dengan mengatakan saya bisa melakukan ini sendiri. Dan saya berhak untuk berbahagia. Saya berhak untuk menghargai hidup ini.
Setelah bentukan mental anda benar seperti diatas, pemahaman anda akan eksistensi anda benar, kemudian baru anda duduk dan kemudian me review kembali jalan yang sudah tertempuh. Analisa apa yang sudah terjadi tanpa terlalu besar meresikokan diri anda untuk menjadi depresif; minder, tidak berharga, atau tidak cukup dicintai.
Anda orang yang lapang dada, tetapi mungkin ada beberapa sisi dalam hidup yang seharusnya lebih anda perhatikan dan tidak semata-mata anda terima sebagai satu kewajaran. Bahwa kewaspadaan terhadap lingkungan pergaulan suami anda, rasa nyaman yang harus diberikan kepada suami anda, kemampuan untuk memahami ideologi suami anda, seharusnya menjadi prioritas yang secara konstan harus diberikan dalam meniti rumah tangga.
Anda adalah ibu yang welas asih, tetapi mungkin ada kalanya seorang anak sesungguhnya belum dengan pasti mengerti batasan antara mana yang boleh dilakukan, mana yang belum boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Bahwa cinta dan welas asih bagi anak anda bisa datang dalam bentuk yang membutuhkan waktu untuk anak dapat memahaminya.
Anda adalah pekerja keras, tetapi mungkin melihat kondisi yang berkembang dan mengganggu ritme keseimbangan keadaan keluarga. Sudah saatnya anda mengevaluasi lagi jadwal yang lebih fleksibel untuk dapat lebih memperhatikan keluarga.
Semoga kita sernua sudah belajar untuk memaafkan kesalahan kita sendiri, menyadari keterbatasan diri kita sendiri , dan tetap menghargai eksistensi kita sendiri.*