KUDUS-Puluhan petani asal Kudus Jawa Tengah baru-baru ini mengunjungi kediaman pakar tani dan pengembang sistem pertanian organik Prof. DR Gembong Danudiningrat di daerah Sleman DIY. Sebanyak 20 petani tersebut bermaksud menimba ilmu mengenai cara menanam tebu yang baik serta menghasilkan rendemen yang tinggi.
Sofiyan Hadi ketua rombongan dan sekaligus Ketua Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Al Mawaddah Kudus mengatakan kunjungannya ke rumah pakar tani Gembong Danudiningrat di Sleman adalah rangkaian pelatihan Teknik Budidaya Tanaman Tebu yang digelar sejak 23-27 Agustus 2016 lalu.
“Awalnya pak Gembong kami jadwalkan menjadi pembicara di Kudus. Tapi karena kesibukan beliau yang begitu padat. Akhirnya kami memutuskan datang langsung kesini,” katanya
Dalam kesempatan tersebut Gembong berbagi pengalamannya selama puluhan tahun melakukan penelitian lapangan dan uji coba ke berbagai wilayah di Indonesia. Sehingga berhasil menciptakan bakteri penyubur tanah supaya bisa selalu produktif. Bahkan dengan bakteri hasil buatannya, lahan kritis dan pascaerupsi dapat ditanami.
“Saya sudah mengujinya beberapa kali di daerah pesisir Kecamatan Panjatan, Kulon Progo, pepaya dan cabai kini tumbuh subur. Padahal, tanah disana berpasir yang tentunya miskin air,” paparnya.
Menurut Gembong lahan kritis tidak hanya terdapat di luar, tetapi juga di Pulau Jawa. Ironisnya, lahan kritis tersebut bukan hanya disebabkan adanya pembalakan liar, melainkan lebih banyak karena praktik revolusi hijau yang tidak baik. Karena itu menurutnya, saat ini para petani musti beralih dari menggunakan pupuk kimia ke organik.
“Kerugian yang sering dialami petani kita selain tengkulak. Juga disebabkan kurangnya pemahaman bagaimana mengolah tanah dengan baik dan benar. Padahal itu syarat utama kalau mau hasil panen melimpah,” terang lulusan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu
Gembong memang bukan nama asing untuk inovasi pertanian di perkebunan dan peternakan di Indonesia. Ia yang meneliti lahan kritis sejak 1985 itu menuturkan dalam proses penanganan lahan baik di kawasan pesisir dan lahan pasca bencana tidak lain harus dimulai dengan mengolah kembali tanah agar siap ditanami.
“Penanganan lahan kritis, baik akibat erupsi gunung berapi ataupun pemakaian pupuk yang berlebih, garis besarnya sama. Pertama-tama, kita olah dulu tanahnya,“ kata Direktur Kencana Multi Farm itu
Tidak cukup sampai di situ, sanitasi pada tanah juga penting. Yakni suatu proses pembersihan tanah dari fungisida, insektisida, dan virusida dengan memanfaatkan agen-agen hayati, seperti dalam bentuk jamur-jamuran. Pada tahap terakhir, kata Gembong, dibutuhkan drainase yang baik.
“Biasanya, waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan kembali lahan kritis maksimal enam bulan,“ kata dia.
Pihaknya juga berpesan supaya dalam edukasi terhadap petani tidak hanya ditekankan untuk bekerja dan menyuburkan kembali lahan kritis, tetapi juga diberitahu mengenai jenis-jenis tanaman yang lebih baik. Misalnya, saat musim tanam jagung, agar harga jagung tidak jatuh, petani diberi bibit jagung manis warna ungu.
“Dengan cara tersebut, saat musim panen tiba, jenis jagung yang dipanen bisa bermacam-macam sehingga harga jagung tidak turun tajam akibat kelebihan stok,” paparnya.
Ia meyakini apabila hal itu dilakukan, Indonesia ke depan akan menjadi macan pangan dunia asal petani mengetahui cara bertani yang benar dan menerapkan cara-cara inovasi. Dari situ, diharapkan para petani bisa saling bertukar pengetahuan kepada petani-petani yang lain.
“Sampai saat ini agro adalah usaha paling menguntungkan. Terbukti Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia banyak yang bergerak di sektor itu,“ pungkasnya (*)