Demak – Dizaman revolusi mental ini, Kepala Balai Besar Teknologi dan Pencegahan Pencemaran Industri, Dr. Ir. Sudarto, MM menduga adanya Kementerian lain meniru inovasi teknologi pembuatan  garam menggunakan Geomembran dan Geo-isolator palsu yang dapat merugikan petani garam nasional.

Hal itu dikatakan Sudarto di acara Pelatihan Inovasi Teknologi Pegaraman dengan  menerapkan paten Kementrian Perindustrian nomor ID P0033348 di balai desa Kedungmutih. Pemalsuan itu jelas merugikan petani karena pemakaian  geomembran maupun geoisolator ini tidak ada yang mengawal penerapannya dilapangan. Sehingga hasilnya belum dapat diketahui secara ilmiah .

“ Saya heran lha wong kita sudah jelas menemukan inovasi teknologi dan hasilnya juga bisa dibuktikan namun ketika pegaram membutuhkan justru diberikan barang yang tidak jelas itu. Malah faktanya di lapangan ada yang menjual dan ada yang menyuruh membeli yang akhirnya pegaramlah yang akan dirugikan,” kata Sudarto sambil menunjukkan contoh-contoh geomembran atau geoisolator tiruan itu.

Padahal , Kementerian Perindustria telah memiliki inovasi teknologi pegaraman yang telah di Patenkan melalui Pusat Kebijakan Teknologi dan HKI, BPKIMI dengan inventor Dr. Ir. Sudarto, MM berjudul ‘Proses Pembuatan Garam NaCl dengan Media Isolator pada Meja Kristalisasi’ Nomor Paten ID P0033348 yang telah diberikan tanggal 28 Maret 2013.

“Sebagai inventor inovasi teknologi ‘Proses Pembuatan Garam NaCl dengan Media Isolator Pada Meja Kristalisasi’ paten ID P0033348 yang telah terbukti dapat meningkatkan produktivitas maupun kualitas garam, apakah akan digunakan atau tidak oleh Petani Garam itu terserah bapak-bapak ?”  katanya lagi.

Pengembangan inovasi teknologi pegaraman dengan media isolator dapat di kembangkan ke seluruh wilayah nusantara tidak tergantung dari ketersediaan lahan yang luas, lahan yang sempitpun 1 – 5 ha dapat didirikan Industri Kecil dan Menengah (IKM) garam konsumsi beryodium, yang penting terdapat ketersediaan air laut yang berkualitas, cuaca yang memadai untuk proses produksi garam termasuk di daerah wisata bahari/tempat pelelangan ikan dapat disesuaikan /digabungkan dengan wisata garam beryodium.

“Kami telah melakukan pelatihan skala kecil di Pantai Kukup, Gunung Kidul, DIY dan Rote Ndao, NTT. Daerah yang telah melakukan penerapan Media Isolator di sentra garam Sumenep (Madura, Jawa Timur), Demak, Jepara, Pati, Rembang (Jawa Tengah), Klungkung, Karangasem (Bali), dan untuk tahun anggaran 2015 tergantung kebijakan pemerintah yang akan menerapkan inovasi teknologi, baik melalui Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, SKPD Pemprov dan kabupaten serta tergantung stakeholder yang akan menggunakan teknologi kami,” katanya

Terkait produksi garam, itu sangat tergantung dari musim kemarau/waktu tidak ada hujan yang mana berhubungan erat dengan kualitas garam yang dihasilkan.

Hal ini penting karena produksi garam rakyat sangat beraneka ragam kualitas, baik secara organoleptik (warna, ukuran kristal dan keseragaman) serta secara fisik tingkat kekerasan, bentuk kristal garam, kadar air, kadar NaCl dan senyawa lain sebagai impurities (zat pengotor).

Dari garam rakyat untuk menjadi garam konsumsi harus melalui tahapan proses pencucian dan pengeringan sampai memenuhi syarat kadar NaCl dan kadar air.

Sedangkan untuk menjadi garam industri diperlukan kadar NaCl yang tinggi harus melalui tahapan proses purifikasi/refinery (pemurnian) yang mana garam dilakukan proses pencucian, pemisahan dan re-kristalisasi.

Sampai saat ini telah tercatat total potensi luas lahan penggaraman nasional sebesar 35ribu Ha, yakni lahan di PT Garam sekitar 5ribu Ha, dan potensi pengembangan di NTT sebesar 100 ribu Ha.

Selanjutnya, lahan eksisting sekitara 20ribu Ha yang terdapat dari masing daerah yakni Provinsi Jawa Barat sekitar 3.518 Ha, Jawa Tengah 6.205 Ha, Jawa Timur 6.841 Ha, Sulawesi Selatan 1.247, Nusa Tenggara Barat 1.364, dan Provinsi lainnya (Aceh, Bali, Sulawesi Tengah) 825 Ha. (Muin/ Pemi)