Lampung – DMC : Nama dusun itu adalah Dusun Karangsari atau Dusun VIII, Desa Kertosari, Kecamatan Tanjungsari Lampung Selatan. Tetapi masyarakat Dusun Karangsari ketika berada di luar desa memperkenalkan alamat mereka dengan nama “Bergen”.
Padahal Bergen merupakan kawasan perkebunan peninggalan Belanda yang hampir tidak ada hubungannya dengan Dusun Karangsari, kecuali pintu gerbang masuk ke Dusun Karangsari harus melawati kawasan perkebunan peninggalan Belanda yang saat ini dikelola oleh PTPN VIII.
Dusun Karangsari yang merupakan bagian dari Desa Kertosari, Kecamatan Tanjungsari (hasil pemekaran Kecamatan Tanjung Bintang). Dari Tanjung Karang (Bandar Lampung), ibu kota Propinsi Lampung, Karangsari kira-kira berjalak 30 Km ke tenggara.
Dusun Karangsari dihuni oleh beberapa eks Tapol/Napol PKI yang meninggalkan lokasi proyek lokalisasi bagi eks Tapol/Napol yang dibebaskan pada sekira tahun 1970 dari berbagai tempat tahanan di Lampung. Proyek lokalisasi eks Tapol/Napol PKI yang dibangun dan dibina oleh Korem Garuda Hitam ini berada tidak jauh dari kawasan yang dikemudian hari menjadi Dusun Karangsari. Karena ada pengalihan pemanfaatan, pada tahun 1981/1982, eks Tapol/Napol PKI ini membubarkan diri dan meninggalkan lokasi proyek.
Hingga saat ini, di dusun ini masih hidup saksi sejarah mantan tapol napol akibat peristiwa G30S Tahun 1965. Para mantan tapol-napol yang hak-haknya dirampas oleh Pemerintah Orde Baru. Pengalaman hidup bermasyarakat yang kental dengan kebersamaan, yang bisa dilihat salah satu hasilnya adalah kandang sapi (bunker) bersama.
Sebagian dari penghuni proyek, dengan difasilitasi oleh gereja Katolik, pindah ke Negeri Mertani, Kecamatan Padangratu. Sementara sebagian lainnya hanya pindah ke kawasan di sekitar proyek, khususnya di Umbul Wira dan sekitarnya, yang dikemudian hari menjadi Dusun Karangsari.
Sebagaimana komunitas eks Tapol/Napol PKI lainnya, mereka diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintah yang berkuasa dan masyarakat luas yang terpengaruh oleh agitasi pemerintah. Pun demikian dengan komunitas eks Tapol/Napol PKI yang tinggal di bakal dusun Karangsari.
Akses ekonomi, sosial-budaya dan politik nyaris tidak ada. Belum lagi ditambah stigma-stigma negatif yang membuat mereka, baik secara personal maupun sosial merasa tertekan dan terkucilkan.
“Saya sama sekali tidak terlibat PKI, hak-hak politik saya terpinggirkan lebih karena orang tua saya juga dianggap sebagai Tapol. Selama orde baru, tepatnya tahun 1985 saya tidak bisa calonkan diri sebagai kades karena di KTP saya tertulis tapol golongan C,” tutur Mujiono(56), Kepala Desa Kertosari, Lampung Selatan.
Tetapi peminggiran dan keterkucilan ini justru menghasilkan mekanisme pertahanan yang lebih mandiri dibandingkan dengan komunitas lainnya. Kemandirian ini nampak dari adanya ‘bunker’ (demikian mereka menyebut) “LESTARI”. Bunker “LESTARI” merupakan kandang sapi kolektif warga Dusun Karangsari.
Setiap malam sapi milik warga Dusun Karangsari dikandangkan bersama dalam bunker ini dan dijaga secara bergilir. Konon, bunker ini dibuat untuk mengatasi kasus pencurian lembu yang sering mereka alami sebelumnya.
“Lembu dan sapi milik kami sering hilang. Ketika kami melapor ke polisi, saat itu tidak ditanggapi karena kami eks PKI,” cerita Mujiono.
Mereka mengaku tidak habis pikir mengapa kasus mereka tidak diproses. Karena mereka merasa sebagai warga negara yang juga dilindungi, terlepas mereka eks tapol atau bukan. Kekecewaan inilah yang mendorong warga Dusun Karangsari melakukan self security dengan membangun bunker pada masa-masa awal reformasi.
Sejak tahun 2001, saat bunker ini dibangun, masyarakat Dusun Karangsari yang sangat rentan terhadap teror dan serangan aksi kriminalitas ini tidak pernah lagi kehilangan sapi.
Kemampuan masyarakat eks Tapol/Napol berdaptasi dengan masyarakat dan perubahan yang ada di sekitarnya menjadikan mereka relatif diterima dan menjadi bagian dari masyarakat luas, baik di lingkungan Dusun Karangsari maupun Desa Kertosasi.
Kemampuan beradaptasi ini yang membuat mereka bisa meredam perlakuan diskriminatif dan sikap sinis lainnya. Dan yang sangat penting adalah bahwa kemampuan beradaptasi itu tidak serta-merta menghilangkan sikap kritis dan sadar politik yang ada pada diri eks Tapol/Napol PKI itu.
Pada tahun 1998, ketika rezim Soeharto jatuh, masyarakat Dusun Karangsari memanfaatkan peluang perubahan konstelasi politik di Indonesia untuk memperoleh kembali hak mereka yang berupa lahan yang pernah mereka tinggalkan di proyek lokalisasi. Dengan dukungan wadah Dewan Rakyat Lampung (DRL) masyarakat Dusun Kertosari melakukan usaha reclaiming secara damai atas tanah eks proyek lokalisasi.
Dalam proses recliming itu nyaris tidak ada konflik yang terjadi. Bahkan sekarang tanah hasil reclaiming itu sudah diakui kepemilikannya oleh negara dengan diterbitkannya Surat Pajak atas nama masyarakat Dusun Karangsari.
“Semuanya kami lakukan dengan damai, tanpa ribut-ribut,” kata Mujiono bangga.
Mujiono, mengatakan sangat senang dengan kebebasan yang diperoleh dia dan warganya pasca reformasi. Tahun 2004, Mujiono dan warga desa lainnya menggunakan hak politik mereka secara bebas untuk pertama kalinya. Di tahun 2009 ini, mujiono bersiap menghadapi pemilu dengan optimis.
“Saya optimis pemilu ini dapat membawa perubahan. Saya dan warga akan menggunakan hak kami dengan sebaik-baiknya,” kata Mujiono.
Mengenai pencalonan diri beberapa mantan jenderal seperti Wiranto dan Prabowo menjadi presiden, Mujiono menganggap hal ini sah-sah saja. “Namanya juga demokrasi,” katanya.
Dia mengatakan warga Karangsari, Lampung Selatan, sama sekali tidak dendam dengan tokoh-tokoh tersebut. Menurutnya, masing-masing orang memliki penilaian tersendiri.
Namun, perasaan tidak dendam dan penuh maaf dari warga Karangsari tidak berarti mereka akan memilih kedua nama tersebut sebagai presiden Indonesia periode mendatang. “Maaf oke, memilih belum tentu,” ujarnya. ( okezone.com )