Kalyani Kumiayi : Tidak terasa penghujung tahun sudah tiba, begitu banyak hal yang sudah kita lalui sepanjang tahun ini. Banyak pengalaman, kebahagiaan, kesedihan, kesulitan dan segala macam hiruk pikuk, dalam satu tahun ini sudah kita jalani.

Beberapa hal yang telah kita lakukan membuat kita merasa sangat bangga. Bahwa kita telah berhasil mencapai tujuan. Di sisi yang lain ada banyak juga kesalahan yang sudah kita lakukan. Karena situasi, karena kondisi, karena kurangnya pengalaman dan kebijakan kita. Sedangkan hal lain mungkin hanya berupa rutinitas semata yang bahkan tidak lagi kita rasa penting untuk diingat.

Di kesempatan yang baik ini, pada saat yang bagus bagi kita untuk bercermin diri dan berefleksi. Saya ingin membagi sedikit cerita yang cukup berarti bagi kehidupan saya secara pribadi. Semoga bisa menjadi sedikit bahan perenungan bagi semua pembaca kolom ini, teriring harapan semoga di tahun 2007 yang akan datang kita semua bisa menjadi manusia yang jauh lebih bijak dari saat ini.

Ada seorang teman yang baru saja berhasil melakukan ‘kaul’ besar. Menempatkan dirinya sendiri bukan sebagai partisipan semata tetapi sebagai yang empunya kaul dan menjadikannya kenyataan. Suatu sore saya sedang berbincang dengan beliau. Dengan sengaja saya mencoba berpikir kritis untuk mengetahui seberapa besar keyakinan yang dimilikinya akan apa yang telah dilakukannya.

Setelah semua keluh kesah, panjang lebar, dengan ungkapan jujur mengenai semua kesulitan yang harus ditempuh untuk mewujudkan kaul ini, semua halangan dari berbagai pihak yang ternyata hanya memberikan janji kosong, ternyata pada akhir perjalanan ini dia merasa cukup bangga akan capaian yang dihasilkannya.

Iseng saya bertanya, “Lah iyo, wis lewat gitu banyak ndak iya cucuk ta ? Masa depan yang belum jelas, keinginan yang masih banyak, halangan yang datang pun tidak kurang-kurang. Sebenarnya sudah dipikirkan belum untuk melakukan hal ini terus ?”

Dengan tertawa dia berkata, ”Kamu ingat gak … dulu dulu sekali, pernah kamu bilang seperti ini, apapun yang tidak membunuhmu akan menguatkanmu. Hal itulah sekarang yang aku yakini. Sepanjang perjalanan nanti mungkin akan banyak halangan, tapi selama tidak membunuh aku yakin pasti bisa melewatinya …”

Saya terbahak mendengar begitu telaknya jawaban yang diberikan. Dalam hati saya timbul pertanyaan. Garis batas yang seperti apa yang harus diberikan pada satu perjuangan hidup ini ? Garis batas mana yang harus diterapkan ketika kita menghadapi satu masalah. Bagaimana kita tahu bahwa apa yang terus menerus kita perjuangkan ini merupakan buah dari satu keyakinan yang benar atau sekedar kumpulan ego, kenaifan, kesombongan, sehingga kita tidak bisa jelas melihat apakah kita sudah melakukan hal yang benar atau malah berbuat suatu kesalahan ?

Lama setelah pertemuan tersebut berlalu, saya masih belum bisa menemukan formula jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang timbul dalam hati tersebut. Saya merasa dengan kompleksnya situasi yang sedang kita hadapi pada saat tertentu, keyakinan bisa saja berubah menjadi sesuatu yang tampak konyol ketika tidak diadaptasikan dengan perkembangan keadaan. Tapi disisi yang lain ketika kita berkompromi atau beradaptasi dengan tidak bijak terhadap situasi atau perkembangan keadaan tertentu, maka jika tidak sangat hati-hati idealisme dan keyakinan kadang malah bisa terbeli. (Semoga pemikiran yang terahkir tersebut salah !).

Sampai detik saya menulis ini saya belum yakin jawaban apa yang benar tentang bentuk keyakinan yang seperti apa yang sebenarnya bagus, tapi kata-kata yang saya dapatkan di bawah ini menguatkan saya,

“What we have to learn to do, we learn by doing.” (Aristoteles) Apapun yang harus kita pelajari untuk dilakukan, kita mempelajari dengan melakukan sesungguhnya.

Secara polos apa yang saya tangkap dari petikan tersebut di atas, adalah bahwa kita melakukan dengan sekuat tenaga apa yang kita yakini. Dengan niat yang bersih, serta dengan tujuan kebajikan yang jelas. jika dalam perjalanan pencapaian tersebut kita terkadang merasa capek, frustasi bahkan pada sampai pada tahap mempertanyakan keyakinan itu sendiri, kita wajib mengatakan bahwa ini semua tidak akan membunuh dan hanya akan menguatkan.

Dan jika pada titik tertentu ternyata memang keyakinan tersebut tidak sebenar yang kita mau, tidak semurni yang kita nyatakan, tidak sebijak yang kita niatkan, ya paling tidak kita sudah belajar banyak, karena kita sudah pernah melakukannya.

Semoga semua mahluk berbahagia.