Tak hanya merugikan lahan persawahan produktif, pembangunan PLTU Batang juga akan berpotensi mencemari kawasan pesisir Batang yang kaya ikan, salah satuperairan di wilayah pantai utara Jawa yang menjadi tumpuan utama para nelayan.
Penolakan warga Batang terhadap energi kotor tersebut tercermin pada spanduk bertuliskan “Pilih Pangan, Bukan Batu Bara, Tolak PLTU Batang” yang dibawa warga dalam aksi massa yang dilakukan pagi ini (Rabu, 17 Oktober 2014) di depan Kementerian Koordinator Perekonomian.
Dari Kementerian Koordinator Perekonomian, warga berkunjung ke Rumah Transisi Jokowi-Jusuf Kalla. Perwakilan warga Batang berharap dapat diterima oleh Joko Widodo yang pada masa kampanye pernah menjanjikan penghentian pembangunan PLTU Batubara di Batang apabila warga keberatan.
Menjelang 6 Oktober 2014, saat proses keputusan akhir pembangunan PLTU di Batang akan dilakukan, Warga desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR) masih berjuang menolak rencana pembangunan PLTU Batubara Batang yang berkapasitas 2×1000 MW tersebut.
Penolakan warga dibuktikan dengan mempertahankan lahan dari PT Bhimasena Power Indonesia (BPI). Selama proses pembebasan lahan sejak 2011 hingga saat ini, warga banyak menerima intimidasi. Bahkan sampai hari ini masih ada dua warga Batang yang mendekam di penjara.
Berbagai upaya mulai dari protes di depan Istana Presiden, dan di hampir seluruh Kantor Kementerian terkait di Jakarta, hingga menemui parlemen Jepang sudah dilakukan warga. Kini warga berharap Presiden terpilih Joko Widodo dapat mendukung tuntutan mereka karena mereka memperjuangkan kepentingan kedaulatan pangan bagi warga lokal, sejalan dengan janji Jokowi pada masa kampanye Pilpres yang lalu.
Kontak Media:
Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, arif.fiyanto@greenpeace.org, +62 811 1805 373
Wahyu Nandang Herawan, Pengacara Publik YLBHI, wahyu.nandang@ylbhi.or.id, +62 85 7272 217 93