Desamerdeka – Gunungnkidul : Jerih payah Damanhuri untuk mewujudkan mimpi swadaya air di Dusun Ketangi dan Kepek di Desa Banyusoco dimulai delapan tahun lalu. Awalnya, dia merasa prihatin adanya instalasi pengelolaan air hasil dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) 2005 lalu dibiarkan mangkrak. Sebab, sarana itu hanya berfungsi selama enam bulan sejak selesai dibangun, kemudian selama enam bulan berikutnya dibiarkan tak terurus. Alasannya, dikarenakan ketiadaan anggaran untuk membayar listrik.
“Masalah tak hanya di anggaran, banyak warga yang mengeluh, karena air hanya dinikmati oleh warga di sekitar bak penampungan. Sedang, warga lainnya harus datang jauh-jauh untuk mendapatkan air,” kata Damanhuri saat ditemui di rumahnya, Rabu (17/9/2014).
Menurut dia, dikarenakan pasokan air hanya dinikmati segelintir orang membuat warga menjadi kesal, sehingga mereka tidak mau membayar biaya beban untuk listrik. Masalah tersebut jadi semakin rumit, karena pihak desa tak mau lagi terus menerus memberikan dana talangan. Akhirnya, setelah berjalan enam bulan instalasi itu dibiarkan berhenti.
“Setelah enam bulan tak digunakan, saya dengan dua teman memberanikan diri matur ke Pak Kepala Desa untuk mencoba menghidupkan pam itu,” ungkap dia.
Upaya dari Damanhuri ternyata mendapatkan tanggapan positif dari aparat desa, karena diperbolehkan untuk memanfaatkan instlasi itu. Hanya, Damanhuri dkk dinasehati jangan sampai kejadian mangkraknya alat tersebut terulang kembali.
“Kami hanya bermodalkan nekat dan mimpi warga tidak lagi kesulitan air saat kemarau. Apalagi di sini banyak sumber air yang melimpah dan hanya terbuang percuma ke sungai,” ungkap dia.
Setelah melakukan kalkulasi pembiayaan diketemukan modal awal sebesar Rp24 juta. Modal tersebut digunakan untuk membeli perlengkapan instalasi serta pipa penyambung di beberapa titik. Masalahnya, waktu itu, kelompok yang terdiri delapan orang ini tidak memiliki modal sama sekali.
“Kami terpaksa menggadaikan tiga unit motor sebagai modal. Waktu itu, kami mendapatkan uang Rp7,5 juta. Beruntung, ada pengusaha toko bangunan yang bersedia memberikan bantuan kredit untuk mengangsur barang-barang yang dibutuhkan,” kenang ayah dua anak itu.
Setelah seluruh instalasi terpasang dan air bisa dialirkan ke warga, kemudian timbul permasalahan baru. Akibatnya, saluran air hanya berlangsung selama dua bulan. Sebab, kesepakatan membayar iuran Rp5.000 per bulan diprotes warga. Mereka merasa iuran tersebut tidak adil, karena air yang digunakan tiap kepala keluarga berbeda-beda.
“Itulah yang menjadi dasar mereka tidak mau membayar. Kami pun terpaksa menghentikan proses penyaluran air selama tiga hari,” ungkap dia.
Menurut lelaki kelahiran 47 tahun lalu itu, selama penghentian aliran, kelompok Ngudi Ajining Tirto membuat pertemuan warga.
Sebanyak 70 warga dikumpulkan untuk kelanjutan Pam Desa. Dari pertemuan itu menghasilkan beberapa keputusan, salah satunya warga harus membayar Rp600.000 untuk tiap pemasangan instalasi.
Dia menjelaskan warga bisa mencicil sebanyak tiga kali untuk tiap pemasangan. Hanya, dikarenakan keputusan itu membuat warga mengurungkan niat untuk melakukan pemasangan. Dari 70 KK yang dikumpulkan, hanya 13 KK yang mau memasang.
“Mau bagaimana lagi, kami tetap harus memasangnya. Padahal, mereka yang memasang merupakan warga yang jaraknya jauh dari instalasi penampungan,” ungkap Damanhuri.
Minimnya minat warga untuk melakukan pemasangan tak mematahkan semangat Damanhuri cs. Pasalnya, mereka tetap bekerja keras untuk mewujudkan mimpi di dusun mereka dapat terlepas dari krisis air.
Sumber : harianjogja.com