Oleh : HUDI , SHi,MSi Al Hafidz***

Permasalahan yang terjadi dalam sistem Hijriah adalah menyangkut penentuan kapan memasuki awal bulan kamariah. Dalam hal ini memunculkan kriteria-kriteria penentuan yang berbeda-beda. Salah satu kriteria yang digunakan di Indonesia adalah imkanurrukyat atau kondisi di mana hilal kemungkinan dapat dilihat dengan kriteria-kriteria tertentu. Dalam istilah lain disebut dengan visibilitas hilal.

Secara lebih luas terkait kondisi hilal saat dilakukan rukyat, fukaha membaginya ke dalam beberapa bagian: 1) Istihalaturrukyat, yakni kondisi di mana hilal mustahil bisa dilihat. 2) Imkanurrukyat, yakni kondisi di mana hilal ada kemungkinan bisa dilihat.

Imkanurrukyat kriteria MABIMS yang digunakan oleh pemerintah RI semula mensyaratkan ketinggian hilal tidak kurang dari 2 derajat dan elongasi tidak kurang dari 3 derajat, atau umur bulan tidak kurang dari 8 jam. kemudian mulai tahun 2022 pemerintah RI mensyaratkan ketinggian hilal tidak kurang 3 derajat dan sudut elongasi tidak kurang dari 6,4 derajat. Dan ini diikuti oleh ormas Islam Nahdlatul Ulama yang disebut dengan nama Imkanurrukyat Nahdlatul Ulama (IRNU).

 

Penggunaan imkanurrukyat oleh NU hanya sebatas untuk menetapkan standar minimum ketampakan hilal, dengan arti apabila hilal belum imkanurrukyat dan ada kesaksian melihat hilal maka kesaksian tersebut ditolak (Surat Keputusan PBNU No.311/A.II.03/I/1994 M). Namun apabila hilal telah mencapai imkanurrukyat dan dalam lapangan hilal tidak terlihat, oleh NU menetapkan awal bulan berdasarkan istikmal (penggenapan 30 hari jika hilal tidak terlihat), seperti penetapan awal bulan Ramadan 1407 (April 1987).

Bulan Ramadan 1407, ijtimak terjadi pada Selasa tanggal 28 April 1987 pukul 8:35 dengan ketinggian hilal 1,3° s.d 3° (imkanurrukyat) dan dalam pelaksanaan rukyatulhilal dari 3 lokasi (POB Pelabuhan Ratu Sukabumi, Tugu Munas Jakarta, Lhok-Nga Banda Acehh). hilal tidak berhasil dilihat karena terhalang awan. NU menetapkan awal bulan Ramadan 1407 berdasarkan istikmal yaitu Kamis 30 April 1987 dengan berpedoman pada hasil dari Munas NU nomor 1/MAUNU/1404 H/1983 M dalam menentukan awal bulan kamariah hanya birruyah au itmāmil adadil salāsīna yauman (rukyat dan istikmal), dengan merujuk pendapat mayoritas ulama Fikih.

Penentapan NU pada awal bulan Ramadan 1407 tersebut berbeda dengan penetapan oleh pemerintah RI yang menetapkan keesokan harinya berdasarkan hisab imkanurrukyat yaitu hari Rabu tanggal 29 April 1987. Penetapan Pemerintah RI tersebut berdasarkan Pertama, berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nomor: Kep/276/MUI/VII/1981, tanggal 1 Juli 1981, yang didasarkan pada pendapat Al-Ubbadi dan Al-Syarwani dalam Ḥasyiah al-Syarwani dan Ibn Qasim. Kedua, berdasarkan keputusan musyawarah Hisab Rukyat di Jakarta tanggal 3-4 Maret 1987 menyatakan jika  para ahli hisab telah sepakat bahwa malam itu sudah imkanurrukyat akan tetapi hilal tidak dapat dilihat karena terhalang, maka keesokan harinya dapat ditetapkan tanggal 1 bulan baru.

Pendapat Al-Ubbadi dan Al-Syarwani dalam Hasyiah al-Syarwani dan Ibn Qasim.

(قوله لولاه) أَي الغيمِ (لرئي قطعا) أي بعد الغروب إيعاب (قوله؛ لأنّ الشّارع إنّما أناط الحكم بالرّؤية بعد الغروب إلخ) ينبغي فيما لو دلّ القطع على وجوده بعد الغروب بحيث يتأتى رؤيته لكن لم يوجد بالفعل أن يكفي ذلك فليتأمّل سم

(Ungkapan: Andaikan tidak adanya) awan (maka pasti hilal terlihat) setelah Matahari terbenam. (Ungkapan: Karena Syari’ menggantungkan hukum dengan rukyat yang dilakukan setelah Matahari terbenam) seyogyanya dalam kasus jika hisab qaṭ’i telah menunjukkan wujud hilal setelah terbenam Matahari dan fisibel untuk dilihat, tetapi secara faktual tidak berhasil dilihat maka itu sudah cukup untuk penentuan awal bulah kamariah

Setelah bulan Ramadan 1407 sampai sekarang, dalam rukyatulhilal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah oleh kemeterian Agama RI ketika sudah mencapai imkanurrukyat, hilal selalu terlihat dengan saksi yang disumpah. Namun pada bulan-bulan selain ketiga tersebut, rukyatulhilal oleh NU terdapat hilal imkanurukyat yang tidak terlihat, seperti rukyatulhilal bulan Jumadil Akhir 1445 (Desember 2023) dan juga pada bulan sekarang yaitu Muharram 1446, pelaksanaan rukyatulhilal pada hari Sabtu sore (6/7/2024)  dari 39 lokasi (19 LFNU, 20 BMKG) tidak ada yang melaporkan melihat hilal karena cuaca mendung.

Awal Muharram 1446, Oleh NU dengan putusan Ikhbarnya yang terbit pada pukul 19:30 menetapkan awal bulan Muharram 1446 berdasarkan istikmal yaitu hari Senin 8 Juli 2024, dan berbeda dengan kalender 2024 (bulan Juli) yang beredar di masyarakat yang hampir semua menetapkan pada hari Ahad 7 Juli 2024 (disusun berdasarkan hisab imkanurukyat) termasuk kalender Menara Kudus, PBNU, taqwin Kementerian Agama, dan surat keputusan bersama (SKB) 3 menteri tentang hari libur Nasional tahun 2024, sehingga masyarakat pada Sabtu sore setelah Asar sudah banyak yang membaca doa akhir tahun.

Dalam tinjuan fikih, penetapan NU awal bulan Muharram 1446 pada hari Senin berdasarkan mayoritas ulama harus diistikmalkan. Akan tetapi, sebagian ulama Syafi’iyah memperbolehkan menetapkan pada hari ahad dengan hasil hisab imkanurrukyat berdasarkan pendapat Al-Ubbadi dan Al-Syarwani (sejalan dengan pendapat Imam Mutharrif bin Abdullah, Abu al-Abbas ibnu Suraij, Ibnu Qutaibah) yang pernah digunakan oleh pemerintah RI dalam penetapan awal Ramadan 1407 (April 1987).

Perbedaaan pendapat ulama fikih adalah sebuah keniscayaan. Dan mereka saling menghormati pendapat yang lain, karena mereka telah mencium aroma perbedaan, seperti kaidah yang telah disampaikan oleh Prof. Ahmad Rofiq, M.A.

من لم يشم رائحة الاختلاف لم يشم رائحة الفقه

Barang siapa tidak bisa mencium aroma perbedaan pendapat, maka ia tidak bisa mencium aroma fikih.

Kaidah tersebut mengutip suatu kalimat (iqtibas) dari kaidah Imam Qatādah,

من لم يعرف الاختلاف لم يشم انفه الفقه

Barang siapa yang tidak mengenal atau memahami perbedaan pendapat, maka hidungnya tidak akan bisa mencium aroma fikih

Dan juga dari kaidah imam Hisyam ibn Ubaidillah al-Rāzī

من لم يعرف اختلاف القراءة فليس بقارئ, ومن لم يعرف اختلاف الفقهاء فليس بفقيه

Barang siapa yang yang tidak mengenal atau memahami adanya perbedaan bacaan al-Qur’an, maka ia tidak bisa disebut ahli qari’. Dan barang siapa yang tidak mengenal atau memahami adanya perbedaan di antara fukaha maka ia tidak bisa dianggap ahli fikih

 

***Penulis adalah Ketua LF PCNU Jepara dan

Wakil Dekan FSH UNISNU Jepara