Kalyani Kumiayi: Di tepi hutan suatu saat saya menemukan seekor binatang, ( saya kira ia seekor anak kucing kecil ), terperosok di lubang, terluka parah di sekujur tubuhnya. Atas alasan kemanusiaan dan hati yang gampang tergugah, saya ambil binatang kecil itu dan kemudian merawatnya. Setelah binatang tersebut sembuh , ia berkata bahwa ia bukan kucing, ia anak singa yang tersesat…..

Atas pengakuan jati diri tersebut, saya kemudian meyakini dan terus meyakini bahwa ia adalah seekor anak singa.

Hari demi hari berlalu, saya menemani, melatih dia ala singa, saya berharap pada saatnya nanti dia akan benar-benar menjadi seorang raja hutan, bisa kembali ke habitatnya dan bertahan disana. Sangat jarang saya mengelus dia layaknya seekor kucing , karena saya tidak mau ia jadi singa yang ‘manis’, tidak pernah saya membelikan ia bola , karena saya tidak mau it menjadi singa ‘laut’ untuk disewa di ancol.

Pasang surut berganti, ada saatnya dimana makanan yang tersedia adalah daging mentah yang segar, tapi ada saatnya ketika musim paceklik tiba dan sangat sulit bagi saya untuk mencari daging segar, suatu saat saya sama sekali tidak mampu membeli daging mentah baginya.

Saya memotong sedikit daging saya sendiri, menampung darah yang mengucur karena luka itu, cukup banyak tetapi tidak mematikan saya sendiri, dan memberikannya pada anak singa itu. Saya tahu dia lebih membutuhkan nutrisi itu jika saya mau melihatnya tumbuh dewasa dan kuat.

Hal yang seperti ini beberapa kali terjadi, hingga ada beberapa luka tubuh saya yang tidak bisa sembuh, ada beberapa yang sembuh dan tidak meninggalkan bekas luka. Saya berbesar hati karena ketika saya melihat anak singa tersebut tumbuh sehat, kuat dan melihat perkembangannya dari waktu ke waktu ada rasa bangga yang luar biasa dalam diri ini. Saya telah membantu satu mahluk untuk bisa mempertahankan dirinya. Saya sudah menghidupkan satu nyawa di dunia ini.

Tiba saatnya untuk berpetualang masuk ke dalam hutan belantara. Anak singa yang sudah tumbuh besar berpamitan pada saya untuk mencari pengalaman.  Berjanji akan pulang dengan membawa daging buruan sehingga bisa memulihkan kondisi fisik saya yang sudah mulai sakit – sakitan . Dengan sangat bangga saya memberikan restu , mendoakan dalam hati semoga dia tidak terluka, dan jika ia harus terluka semoga dia tidak mati, dan kalau dia harus mati semoga ia mati dengan terhormat dalam pertarungannya.

Selang beberapa hari kemudian , saya melihat ia pulang, banyak luka di tubuhnya, wajahnya tampak lelah, kuyu dan malu , ternyata keahlian berburunya masih belum layak tanding. Saya rawat luka yang ada, saya kuatkan mental bertarungnya, dan kembali saya mendesak dia untuk pergi mencari buruan. Bukan hanya semata untuk saya ( yang hanya membutuhkan sedikit untuk makan ) , tetapi lebih untuk dia, karena ia membutuhkan makan untuk meneruskan perjalanannya yang masih panjang.

3 hari berlalu dan ia kembali, tetap dengan luka yang lain dan lebih banyak, tetapi kali ini ada yang ganjil , ada ketidakberesan dalam pandangan matanya. Kegagalan mendapatkan mangsa memicu kesalahpengertian dalam akalnya. Ia merasa tetap, lapar, bahkan terluka dan itu semua menjadikannya buta mata. Ia menuntut tubuh saya untuk dijadikan santapan.

Apa yang saya perbuat ? , saya ambil senapan berburu saya , saya acungkan senjata itu tepat ke kepalanya dan berkata, ” Ada kalanya pengorbanan harus dibuat untuk kepentingan yang lebih besar, tapi ketika pengorbanan itu harus mengambil kehidupan dari sesuatu yang pernah memberi kehidupan bagi orang lain , itu angkara murka “

Dengan luka di hati, saya melihatnya pergi. Dan saya tahu dia tidak akan berani kembali.

Kesedihan saya terobati dengan satu pengertian yang mendalam, apapun yang sekarang terjadi , saya sudah pernah memberikan kehidupan, dengan segala keterbatasan yang ada saya telah mencoba membentuk satu keahlian , menjaganya , membesarkannya sebaik yang saya bisa dan untuk itu semua saya tahu bahwa saya sudah jadi mahluk yang luar biasa.

Cerita diatas mungkin sedikit ekstrim, tetapi saya mencoba membayangkan bahwa banyak cerita kehidupan yang seperti itu.

  • Seorang ibu yang kehilangan rasa hormat dari anaknya, bahkan ketika dulu sang ibu harus menjadi pembantu untuk menjadikan anaknya seorang sarjana
  • Seorang istri yang kehilangan kesetiaan dari suaminya, bahkan ketika dulu sang isteri harus bekerja lembur malam untuk mendukung keuangan perusahaan suaminya
  • Seorang pacar yang kehilangan cinta karena kalah harta, bahkan ketika ia sudah berusaha jadi seorang tukang parkir untuk sekedar membeli hadiah ulang tahun
  • Seorang atasan yang kehilangan keyakinan atas karyawannya, meskipun ketika ia sudah pernah memberikan sebuah rumah sebagai hadiah lebaran
  • Seorang teman yang kehilangan masa depan karena fitnah lingkungannya, meskipun ketika ia sudah membuktikan seorang anak penjahat bisa jadi kyai

Apapun yang terjadi, kita hanya bisa menolong dan melakukan yang terbaik bagi kehidupan orang lain , tetapi yang terbaik bagi orang lain tidak boleh mencapai titik dimana harga yang harus anda bayar adalah kehilangan diri anda sendiri. Baik secara keyakinan, kehormatan, jati diri dan mata hati.

Semoga semua mahluk terjaga nuraninya

Semoga semua mahluk menjaga kehormatannya.

Semarang, Feb 2009