B. P. H. TAMBUNAN :  KEDAULATAN atau ketahanan pangan nasional, yang berarti juga ketahanan pangan rakyat, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), amat sangat rapuh. Betul, Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) sudah meyakinkan cadangan atau stok beras nasional masih mencukupi kebutuhan pangan untuk waktu 5 (lima) bulan ke depan tanpa impor. Namun, cadangan beras Perum Bulog untuk kebutuhan konsumsi selama 5 (lima) bulan ke depan itu, tetap saja sangat rentan. Terutama, jika muncul kemungkinan kondisi destruktif dan negatif. Karena, pengadaan stok beras yang diproyeksi Perum Bulog mencukupi kebutuhan konsumsi selama 5 (lima) bulan itu, sebetulnya tak lebih merupakan suatu upaya preventif, berjaga-jaga untuk jangka pendek.

Dalam konteks hendak menegakkan kedaulatan pangan rakyat dan NKRI, masih lagi perlu dan harus dilakukan terobosan yang spesial dan terfokus. Baik berupa jangka menengah Apalagi yang berpotensi untuk jangka panjang, yakni swa-sembada pangan tetap.

Ketahanan pangan, baik secara mikro, mau pun makro, saling berkelindan kuat dengan upaya peningkatan daya saing bangsa dan NKRI. Tapi, harus diingat, daya saing bangsa dan NKRI tidak akan terbangun begitu saja, jika berbagai langkah untuk mencerdaskan rakyat masih dianggap sebagai skala non-prioritas. Rakyat yang kekurangan  pangan, mustahil memprioritaskan pendidikan.

Bagi rakyat yang sehari-hari masih harus menghadapi masalah kekurangan pangan, pendidikan merupakan suatu kemewahan hidup. Terlebih  rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tampaknya  belum berkomitmen menggratiskan seluruh tingkat pendidikan bagi rakyat miskin. Padahal Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 secara tegas mengharuskan hal itu.

Tidak heran, rakyat yang diancam persoalan kelemahan pangan, justru akan lebih berusaha keras mengisi lapangan kerja yang tak membutuhkan keketrampilan teknis tinggi. Seperti menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke berbagai negara yang memberi akses bagi pekerja-pekerja level semacam itu.

Namun, sekali pun para TKI atau TKW pada gilirannya bisa tampil sebagai  pejuang devisa, rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kini penyelenggara negara sebesar, seluas, dan sekaya raya NKRI, seharusnya malu membiarkan sampai sebanyak 6.8 juta dari sebanyak 240 juta rakyat NKRI terpaksa rela pergi menjadi TKI atau TKW ke negara-negara lain.

Sekiranya, ya sekiranya sebanyak 6.8 juta orang TKI atau TKW itu seluruhnya berasal dari hanya sebuah provinsi saja, maka bisa dikatakan telah terjadi eksodus penduduk dari  Provinsi Bengkulu ke luar negeri karena faktor kerapuhan pangan. Republik India yang  dengan penduduk sebanyak 1.1 milyar jiwa, dan bahkan Republik Rakyat Cina (RRC) yang berpenduduk 1.4 milyar jiwa, tidak mengirimkan tenaga-tenaga kerja migran ke negara-negara lain, berkat ketahanan pangan rakyatnya.

Kedaulatan atau ketahanan pangan juga tidak mungkin terpisahkan dari kekuatan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas). Jika, misalnya,  suatu negara melancarkan invasi dan melakukan perang jangka panjang,  terhadap rakyat di seluruh wilayah NKRI. Sukar bangat dibayangkan, betapa rakyat yang sedang terancam krisis pangan berat, akan siap dan mampu melakukan fungsinya secara optimal sebagai kekuatan-kekuatan di garis belakang, untuk mendukung pasukan-pasukan tempur di front-front terdepan.

Betapa pun besar kekuatan tempur ketiga angkatan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yakni  Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan  Udara (AU), yang dilengkapi berbagai jenis perlengkapan dan alat utama sistem persenjataan (alutsista) serba “wah” alias modern dan canggih, dalam waktu yang tak begitu lama, bukan mustahil seluruh kekuatan besar itu bisa dengan mudah dilumpuhkan, bila pasukan kelaparan atau kehabisan pangan.

Revolusi bersenjata guna merebut, dan  mempertahankan kemerdekaan bangsa dan NKRI, yang diproklamirkan Sukarno dan Mohammad  Hatta pada 17 Agustus 1945 bisa berhasil, antara lain karena saat itu kedaulatan pangan rakyat memang tangguh. Rakyat yang bahkan memberi makan satuan-satuan laskar pejuang yang bertempur di berbagai front dengan bambu runcing, ditambah beberapa senjata rampasan.

Presiden Vietnam, Ho Chi-minh, dapat dengan telak memukul mundur seluruh kekuatan pasukan Perancis, dan juga  Amerika Serikat, dalam peperangan panjang selama 15 tahun, tidak lain  berkat soliditas kedaulatan pangan rakyat Vietnam. Sampai sekarang, soliditas kedaulatan pangan Vietnam masih terus terjaga. Itu, terbukti dari posisi Vietnam sebagai pengekspor beras terbesar kedua di dunia, setelah Myanmar. Mao Tse-tung, pemimpin revolusi Cina, berhasil mengalahkan Chiang Kai Shek karena dukungan para petani selaku pembentuk ketahanan pangan. Sedangkan Chiang Kai Shek yang kalah, terpaksa harus ngacir lari ke pulau Formosa, yang sekarang bernama Taiwan, cuma didukung para  industrialis, pengusaha, dan pedagang.

KEGANDRUNGAN IMPOR

KERAPUHAN kedaulatan pangan bangsa dan NKRI, ternyata secara gamblang dari berbagai kebijakan perdagangan rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Entah kenapa Menteri Koordinator (Menko) Ekonomi  yang dalam Kabinet Indonesia Bersatu II dipegang Hatta Rajasa tampak seperti membiarkan saja, bahkan memberikan kebebasan mutlak pada Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang hingga per 1 Pebruari 2014 lalu dipimpin Gita Wiryawan, untuk menggencarkan kebijakan-kebijakan perdagangan yang bertendensi kegandrungan impor.

Kenyataan menunjukkan hingga saat ini pasar-pasar domestik, baik pasar berupa  ritel-ritel modern yang di-back up korporasi asing dan terus kian berkembang pesat, atau pun pasar tradisional, termasuk kios-kios pinggir jalan yang semakin “lesu darah” dijejali bermacam bahan pangan impor. Yakni, beras, jagung, kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang tanah, tepung terigu, tepung tapioka, tepung meizene, daging sapi, daging ayam, telur ayam, gula, susu, segala jenis ikan laut, udang, termasuk garam. Begitu pula halnya dengan sayur-mayur : kentang, kol, sawi, sawi pait, pare, bayam, selada, seledri, cabai, brocoli, bawang merah, bawang putih, bawang bombay, buncis, dan tomat. Soal buah-buahan idem dito: durian, melon, semangka, jeruk manis (sankis), mangga, nenas, manggis, kiwi, pepaya, pisang, markisa, belimbing, anggur merah, blueberry, pulm, bahkan kelapa muda.

Kalau rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam hal ini termasuk Menko Ekonomi Hatta Rajasa, dan juga Menperdag Gita Wiryawan (waktu itu) mau membuka mata sedikit saja, pasti dapat melihat betapa nyaris dari semua produk bahan pangan yang diimpor tersebut bisa melimpah-ruah dihasilkan di dalam negeri, di seluruh bumi Garuda, wilayah NKRI. Hanya beberapa jenis saja di antaranya yang mustahil dihasilkan rakyat sendiri, karena memang tidak bisa tumbuh di bumi Indonesia, yaitu gandum atau tepung terigu, buah-buahan kiwi, sankis, pulm, anggur merah, dan blueberry.

Secara sepintas sudah dipaparkan di atas dampak negatif dan destruktif dari kerapuhan kedaulatan atau ketahanan pangan terhadap tingkat kesejahteraan rakyat. Kalau mau diungkapkan secara eksklusif bisa juga. Realitas emperis menunjukkan, orang miskin di bumi Garuda, dari waktu ke waktu bukan cuma menjadi semakin miskin. Tapi, ironisnya pula kian bertambah banyak. Dan, intensitas kesengsaraan rakyat miskin pun kian memperihatinkan.

Tumpah ruahnya berbagai item produk pangan impor seperti yang telah dirinci tadi membawa dampak yang sangat mengenaskan bangat. Soalnya, nyaris seluruh produk pangan yang dihasilkan rakyat dari berbagai kawasan sentra produksi tidak laku di pasar domestik. Kalau pun juga masih diterima pasar atau konsumen, suka tak suka harganya harus dibanting hingga pada level seperti mengobral, ketimbang rusak, atau membusuk.

Ekses selanjutnya, rakyat yang sebelum nya menggeluti sektor pertanian, mencakup subsektor perkebunan dan subsektor perikanan meninggalkan kegiatan itu. Tingkat pengangguran melonjak tajam, dan secara otomatis juga membuat kemiskinan bertambah luas. Sebagian terbesar dari rakyat petani, pekebun, nelayan yang telah menjadi miskin, dan “no job” ini, hengkang ke berbagai kota, tanpa sasaran usaha atau pekerjaan yang jelas. Ironisnya lagi, eksodus para petani, pekebun, nelayan dari kantong-kantong atau sentra-sentra produk pangan ke kota-kota, justru kian memperluas rakyat termarjinalkan. Sudah tentu, kondisi buruk itu sangat berpengaruh pula terhadap upaya menjaga dan atau meningkatkan hankamnas, yang belakangan juga sering diganggu kekuatan-kekuatan asing. Di pihak lain sektor pertanian, termasuk subsektor perkebunan, dan subsektor perikanan mengalami stagnasi. Untuk membangun kembali hingga setangguh sediakala, bukan soal mudah.

Defisit transaksi berjalan, dan defisit neraca perdagangan dapat juga dijadikan tolok ukur dampak negatif impor bermacam produk. Standard Chartered Bank memprediksi defisit transaksi berjalan pada tahun 2014 akan mencapai sekitar 3.6% dari produk domestik bruto (PDB). Kondisi itu meningkat dibandingkan dengan defisit transaksi berjalan tahun 2013 yang tercatat sekitar 3.4% dari PDB. Dalam tingkat defisit transaksi berjalan sekitar  3.4% dari PDB pada tahun 2013 atau sekitar 3.6% dari PDB tahun 2014, terdapat kontribusi defisit transaksi berjalan tahun 2013 dan 2014 sektor pertanian bersama-sama dengan subsektor perkebunan dan subsektor perikanan tak kurang dari 2.5% dari PDB.

Dari sisi neraca perdagangan diketahui,  sepanjang bulan Juni, hingga akhir Desember 2013 lalu, defisit neraca perdagangan tercatat sebesar US $ 4.06 milyar. Angka tersebut melonjak sekitar 150% dari defisit neraca perdagangan pada periode yang sama tahun 2012. Dalam defisit neraca perdagangan sebesar US $ 4.06 milyar sepanjang bulan Juni hingga Desember 2013 itu, tercatat tak kurang dari sebesar US $ 1.3 milyar akibat impor produk-produk pangan. Itu, baru defisit neraca perdagangan selama kurun 6 bulan kedua tahun 2013, atau tepatnya sepanjang bulan Juni hingga Desember 2013. Bisa dihitung sendiri berapa besar kontribusi defisit neraca perdagangan lewat impor beragam produk pangan selama kurun 5 tahun, dari tahun 2009 sampai Oktober 2014  eksistensi rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan sektor ekonomi dimandori Menko Hatta Rajasa, dan subsektor perdagangan dilakoni Gita Wiryawan.

Coba, jika impor produk-produk pangan dibatasi, cukup hanya yang mustahil dihasilkan rakyat sendiri, atau tidak mungkin tumbuh di lahan bumi Garuda, neraca perdagangan pasti mengalami surplus. Dari surplus neraca perdagangan lewat pembatasan impor produk-produk pangan saja sudah cukup besar manfaatnya untuk dipakai membiayai pembangunan sarana pendidikan, seperti gedung-gedung sekolah, di daerah-daerah terpencil. Misalnya, di Papua, di Kalimantan, di Nusa Tenggara Timur (NTT), di Maluku, di pulau Enggano, Bengkulu, dan di Kepulauan Riau, Kepri.

KALAH KUAT

KETIMPANGAN pembangunan pasti akan menyebabkan ketidak-adilan ekonomi. Kurangnya kreasi pelaksanaan pembangunan, terlebih akibat semakin maraknya korupsi, tak urung pula akan menonjolkan ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi itu sendiri sudah jelas merupakan penyebab utama kemiskinan.

Salah satu sumber kemiskinan utama berada pada sektor pertanian, termasuk subsektor perkebunan, dan subsektor perikanan. Sumber kemiskinan utama lainnya ialah sektor informal, yang umumnya dilakoni para urban, atau  pendatang dari berbagai desa para petani, pekebun, dan nelayan ke kota-kota. Karena kurang berhasil, bahkan gagal dalam melakoni hidup di dunia informal yang mengambang, pada gilirannya para urban menjadi rakyat termarjinalkan.

Guna menanggulangi kemiskinan pada sektor pertanian, yang sekaligus juga untuk menekan sektor informal atau rakyat termarjinalkan di berbagai kota, merupakan langkah yang amat tepat jika pembangunan lebih diprioritaskan dan difokuskan ke sektor pertanian, termasuk subsektor perkebunan, dan subsektor perikanan.

Rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 2 (dua) periode kekuasaannya, terutama pada periode ke-II tahun 2009-2014 bisa dikatakan lebih gemar beretorika, ketimbang membuktikan janji-janjinya. Sektor pertanian, yang mencakup juga subsektor sektor perkebunan dan subsektor perikanan bukannya dibangun secara kontinu, konsisten, dan fokus. Melainkan, malah dibiarkan dirongrong lewat kebijakan impor atas banyak produk pangan yang didesain Menperdag Gita Wiryawan dan Menko Hatta Rajasa. Pada gilirannya,  kedaulatan atau ketahanan pangan bangsa dan NKRi menjadi sangat tergantung dari dan atau negara lain..

Penguatan kedaulatan atau ketahanan pangan bangsa dan NKRI sudah pasti tak berhasil bila mengharapkan impor. Melainkan mesti mau memotivasi, dan mengerahkan rakyat pada sektor pertanian, plus subsektor perkebunan dan subsektor perikanan. Agar rakyat bergairah, bersemangat bekerja secara optimal meningkatan produsi. Soalnya, tiap bangsa dan negara tidak pelak lagi pasti lebih memprioritaskan kedaulatan pangan nasionalnya.

Untuk membangkitkan kegairahan rakyat pada sektor pertanian, termasuk subsektor perkebunan dan subsektor perikanan, batasi impor produk-produk pangan. Kecuali itu, pencetakan areal persawahan baru mesti diintensifkan. Kementerian Pertanian menunjukkan data, laju pembangunan sektor industri dan infrastruktur seperti jalan dan perumahan jauh lebih lebih tinggi ketimbang sektor pertanian, yang justru malah merosot. Dengan kata lain pembangunan sektor pertanian kalah kuat dengan sektor industri, meski sektor industri itu pun justru masih yang rakus melalap devisa. Keadaan konyol itu terlihat nyata dari laju alih fungsi lahan persawahan menjadi pabrik, perumahan, jalan, dan sebagainya mencapai 100.000 hektar. Sebaliknya, pencetakan areal persawahan baru cuma seluas 50.000 hektar. Itu berarti  areal persawahan defisit seluas 50.000 hektar.

Mengembalikan kedaulatan atau ketahanan pangan bangsa dan NKRI tidak ada jalan pintas. Selain mencetak areal persawahan dan perkebunan baru bagi para petani dan pekebun, juga melakukan deregulasi yg memungkinkan para nelayan beroleh penghasilan yang lebih layak lagi. Terkait itu,  sekali lagi, hentikan impor seluruh jenis produk pangan yang telah diproduksi di dalam negeri.

Bermacam bentuk sinisme yang kerap diperlihatkan rakyat, merupakan ungkapan kekecewaan massal terhadap kinerja rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak total prorakyat.***

B. P. H. TAMBUNAN, salah seorang Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Aliansi Nasionalis Indonesia (ANINDO).