ARTISA JATI HANDAYANI, ST – Desa Merdeka : Proyek pembangunan perdesaan yang memiliki label Program Nasional Pemberdayan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) telah berlangsung selama 10 tahun. Program tersebut memiliki orientasi penanggulangan kemiskinan dalam perspektif pemberdayaan, sesuai Inpres No 3 tahun 2010.
Setelah berlangsung selama satu dasawarsa banyak kelemahan dan jugamasalah yang muncul ke permukaan. Harian JOGLOSEMAR pernah menyoal korupsi atau penyalahgunaan dana PNPM di Kecamatan Bayat berjumlah 3,3 Miliar yang pelakunya oknum pelaku.
Masalah penyalahgunaan dana PNPM Mandiri Perdesaan selama tahun 2013di seluruh Indonesia seperti yang dirilis oleh Deputi Menkokesra Sujana Royat mencapai angka 160 miliar dan rata-rata tiap tahun prosentase penyalahgunaan ana antara 0,3-0,4 . Alokasi dana PNPM mandiri dari APBN sejak tahun 2007 mencapai angka 49 triliun.
Banyak kelemahan dan terungkapnya masalah didalam pelaksanaan PNPM mandiri Perdesaan di Kabupaten tidak semata-mata kesalahan oknum pelaku yang melihat peluang dan kesempatan. atau sekadar masalah Moral Hazard (penyimpangan moal) akibat kesempatan yang didapatkan.
Ada beberapa kelamahan dalam pelaksanaan PNPM mandiri perdesaa yang basis Regulasinya Petunjuk Teknis Operasinal (PTO) tahun 2003 yang diperbaharui dengan PTO 2007 yang tidak substansial:
Pertama, PNPM Mandiri tidak mengalami dinamika perkembangan program ke arah prgresifitas pemberdayaan. kegiatan PNPM mandiri yang dibingkai PTO yang sesungguhnya out to dated semakin condong ke arah rutinitas proyek. Item kegiatannya adalah pembangunan sarana fisik perdesaan, perguliran SPP untuk perempuan dari keluarga RTM, dan pelatihan teknis keprograman.
Kedua, Roh pemberdayan PNPM Mandiri semakin lama semakin hilang karena watak teknokratisme keprograman. Capaian PNPM setiap tahun berkisar dan berpatok pada tahapan, penyerapan anggaran dan laporan. Tdak pernah ada upaya mengembangkan inovasi keprograman yang berbasis small enterpreneurship.
Ketiga, penguatan kelembagaan pelaku tidak berjalan optimal. Kelembagaan pelaku semacam UPK, BKAD, BP-UPK, KPMD yang diharapkan sebagai pewaris aset dan tata kelola keprograman paska phase out tidak diposisikan sebagai kekuatan inti pemberdayaan dan terkesan hanya sebagai second power dalam program. Padahal kelembagaan tersebut diisi oleh kader pemberdayaan yang mumpuni.
Keempat, orientasi pendampingan yang tidak bertransformasi menjadi pendampingan berbasis penguatan modal sosial masyarakat. Pedampingan tersita oleh soal teknis afministrasi dan tidak mampu mengembangkan masyarakat (The Community Development).
Harus diakui dibalik kelemahan PNPM mandiri ada potensi PNPM mandiri perdesaan bisa menjadi kekuatan penggerak pembangunan diperdesaan. Namun syaratnya PNPM mandir harus menjadi gerakan sosial dan menjadi lokomotif pengembangan ekonomi kerakyatan serta pengembangan kapasitas pemerintahan lokal.
Ada beberapa potensi PNPM yang bisa dikembangkan untuk menjadi kekuatan penggerak pembangunan yang mandiri:
Pertama, aset kegiatan program simpan pinjam khusus perempuan yang dikelola oleh UPK di kecamatan begitu besar. Jika ada grand design konsep pengembangan Micro finance berbasis masyarakat miskin dan PTO PNPM 2007 dibongkar secara radikal maka diharapkan akan lahir “Bank rakyat miskin” seperti model Grameen Bank di Bangladesh. Idealnya UPK di setiap kecamatan dikembangkan menjadi “Bank Rakyat” yang kepemilikannya oleh masyarakat melalui Badan Kerjasama antar desa.
Penulis mengimpikan UPK bertransformasi menjadi “Bank petani”, “Bank niaga pasar”, dsb sesuai karakter wilayah. Pelayanannya juga meluas, dan hal tersebut modal sosial untuk melawan apa yang disebut anasir “setan desa” (rentenir, ijon, tengkulak.
Kedua, kegiatan pengembangan kapasitas SDM diarahkan kepada pembangunan kualitas Kader Pemberdayaan masyarakat desa yang melek politik, melek sosial-ekonomi dan sadar kebudayaan. Bukan lagi soal pelatihan teknis yang urusannya dengan kegiatan program.
Ketiga, Kelembagaan pelaku PNPM bisa diperkuat menjadi kekuatan suprapolitik perdesaan dalam artian menjadi lembaga penggerak pembangunan perdesaan yang aktif dan kinerjanya optimal. menganrtisipasi disahkannya RUU DEsa maka segala prospek da potensi PNPM mandiri dikerahkan untuk nantinya menjadi elemen pendukung kemandirian desa.
Memang untuk mencapai hal ideal tersebut dan menjadikan PNPM Mandiri berhasil mewujdukan visi-misi dan tujuan menanggulangi kemiskinan dan memberdayakan masyarakat hal yang penting adalah perubahan mendasar PTO. PTO PNPM mandiri diorientasikan menjadi kerangka acuan kemandiran dan pelestarian program.
PNPM mandiri harus menjadi gerakan sosial, dan bukan sekadar rutinitas proyek yang artinya desain program PNPM Mandiri difokuskan untuk Mencetak kesadaran kritis masyarakat, mengembangkan basis-basis sector ekonomi riil perdesaan, dan juga memperkuat kelembagaan rakyat.
Segala kekuatan PNPM Mandiri bukan lagi sekadar berdogma penyerapan anggaran namun optimalisasi anggaran untuk pengembangan mikro ekonomi berbasis kepentingan rakyat. Untuk itulah saat ini diperlukan grand strategy pemberdayaan yang meluas. PNPM mandiri harus didorong kemandirian dengan secara gradual memperkuat kapasitas pelaku.
Elemen pelaku PNPM mandiri harus juga bersinergi dengan kekuatan sosial yang lain an aktif dalam gerakan masyarakat sipil yang temanya: anti korupsi, good governance, konservasi lingkungan, dan edukasi transformatif.
Semoga PNPM mandiri bisa memperkuat kapasitas kekuatan civil society dan tidak sekadar menjadi bagian dari politik pembangunan ala birokrasi pemerintah pusat.
ARTISA JATI HANDAYANI, ST / ANALIS PEMBERDAYAAN DI BAPERMAS MAGETAN
d/a Jl Tri Pandita No 18 Magetan