Pertanyaan :
Assalaamu’alaikum wr wb..Memperhatikan kondisi politik yang berkembang saat ini, dipandang sebagian besar masyarakat sangat sarat dengan permainan politik uang (money politik), baik pada saat pemilu untuk memilih Gubernur, memilih anggota legislatif (DPR), memilih presiden, Bupati, bahkan sampai pada tingkat pemilihan kepala desa (pilkades).Dan ironisnya kadangkala merembet sampai pada pemilihan ketua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam.

Yang ingin saya tanyakan,, apa hukum menerima uang tersebut? apakah termasuk suap? dan bila kita tidak memilih kepada orang tersebut, apakah uangnya kita kembalikan saja?

Terima kasih atas jawaban dari ustadz,

Jazakumulloh khoiron katsiiron, wassalaamu’alaikumwr wb

Jawaban :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sudah jadi tradisi bila ada seorang yang ingin maju dalam ajang pertarungan pemilihan, dia suka bagi-bagi uang kepada calon pemilihnya. Ada istilah serangan fajar, yaitu uang dibagikan pagi hari saat jatuh hari pemilihan. Jumlahnya kadang cukup lumayan juga, ada yang 50 ribu, 100 ribu bahkan ada juga yang sampai 200-300 ribu.

Kita bisa bayangkan berapa kira-kira uang yang harus disiapkan oleh seorang kandidat untuk ‘membeli suara’ ini. Belum lagi dia juga harus merogoh kocek sendiri untuk membayar para saksi dan juga biaya akomodasi di suatu daerah pemilihan.

Selain itu sang kandidat masih juga dibebani berbagai biaya lain seperti biaya bikin spanduk, baliho, poster. Dan satu lagi biaya yang tidak pernah kecil jumlahnya, yaitu biaya iklan di media cetak maupun elektronik.

Nampaknya biaya iklan di media ini termasuk komponen yang mahalnya tujuh lapis langit. Apalagi kalau sudah pakai iklan di TV, nilainya bisa ratusan milyar sendiri.

Kalau mau tahu berapa sih uang yang harus disiapkan oleh seorang kandidat, kita bisa melihat beberapa wawancara langsung kepada mereka yang sudah pernah melakukannya. Artinya, angka-angka yang disebut itu bukan angka asal-asalan, tetapi berdasarkan pengakuan pelakunya langsung, tentu yang kini sudah jadi pejabat.

Sebuah tayangan di TV swasta pernah menyebutkan untuk menjadi bupati, ada beberapa paket biaya yang harus disiapkan. Ada paket nekat yang cuma 16 milyar, ada paket hemat kurang lebih 175 milyar, dan ada paket komplit yaitu tidak kurang dari 430 milyar

Dari Mana Sumber Semua Uang Itu?

Sekarang yang jadi pertanyaan, kira-kira dari mana para calon kandidat itu punya uang ratusan milyar?

Dari uang tabungan kah? Atau dari uang warisan dari engkong yang jual tanah di kampung? Atau uang dari kotak amal jamaah pengajian, dimana ustadznya minta keikhlasan para jamaah?

Jawabannya 100% tidak. Tidak mungkin ada orang punya tabungan ratusan milyar, kalau pun punya, ngapain buang-buang duit segitu banyak, padahal belum tentu menang. Tanah punya engkong di kampung kalau pun dijual cepat, tidak akan sampai ratusan milyar nilainya.

Dan tidak ada jamaah pengajian yang mau dengan ikhlas kotak amalnya dipakai buat biaya pemilihan ustadznya yang mau meninggalkan mereka jadi pejabat.

Jawaban dari pertanyaan ini adalah dari para pejabat sendiri, yaitu dari investasi atau pinjaman pihak-pihak tertentu, baik disebut dengan istilah teman, kolega, atau pun resmi disebut pengusaha.

Kalau disebut istilah pinjaman, tentu jangan dibayangkan bahwa seperti kita pinjam uang ke tetangga. Pinjam 10 ribu perak, lalu habis bulan kita bayar 10 ribu perak juga. Itu sih pinjaman ecek-ecek. Bahkan kalau tetangga lupa, ketemu di jalan bisa dianggap impas saja. Malah yang meminjamkan saja sudah lupa, saking kecilnya nilai yang dipinjamkan.

Tetapi pinjaman buat membiayai sang kandidat adalah pinjaman yang nilainya ratusan milyar, nolnya panjang sekali di belakang. Tentu tidak ada istilah pinjaman yang sifatnya gratis alias tanpa hasil tambahan. Orang bilang, tidak ada makan siang yang gratis. Semua ada biayanya, semua ada kalkulasinya, dan semua ada hitung-hitungannya.

Hitungannya, kalau nanti sang kandidat sudah jadi pejabat, tentu pejabat ini bisa bikin segala macam surat, baik surat izin ini dan itu, atau pun kebijakan-kebijakan yang akan sangat menguntungkan para investornya dahulu. Itu keuntungan minimal yang sejak awal sudah terbayang.

Jadi dengan adanya sistem demokrasi yang bisa dibeli ini, malah kalangan dunia usaha sangat diutungkan dengan adanya pembiayaan kepada para kandidat.

Dari pada mereka repot-repot menyogok para pejabat, sudah tarifnya mahal dan belum tentu aman dari KPK, jalan yang mereka pilih adalah menyiapkan kandidat calon pejabat sejak masih belum jadi penguasa. Para kandindat inilah yang dijadikan jago yang dielus-elus, termasuk juga tentunya dibiayai segala kebutuhan keuangannya, mulai dari masa kampanye hingga benar-benar nangkring di kursi kekuasaannya.

Dengan masa jabatan lima tahun itu, bahkan bisa diperpanjang karena menjadi kandidat incumben, maka ada begitu banyak kebijakan yang sudah bisa diatur sedemikian rupa, agar bisa menguntungkan para pemodal. Tentu saja para pemodal itu akan pesta pora mendapatkan hujan ‘berkah’ rejeki yang tidak berhenti mengalir.

Hukum Menerima Uang Pilkada

Kalau kita sudah tahu dari mana sumber uang dibagi-bagikan menjelang pilkada itu, maka kita tahu sumbernya adalah kesepakatan haram jadah yang terjadi antara para kandidat dan masing-masing investornya.

Saya mengibaratkan kedudukan uang itu hanya beda tipis dengan status uang dari hasil keuntungan jual daging mentah alias bisnis prostitusi di rumah-rumah bordil. Orang bilang sebelas dua belas. Lalu kita dikasih cipratannya, agar kita ikut mendukung bisnis rumah bordil itu.

Jadi hukum menerimanya bagaimana?

Mudah saja jawabannya : haram, haram dan haram.

Kalau dulu ada yang bilang, sudahlah ambil saja uangnya, tetapi jangan pilih orangnya, maka saya bilang bahwa mengambil uangnya saja sudah haram, apalagi pilih orangnya.

Kok mengambil uangnya haram?

Ya, jelas haram, karena uang itu sebenarnya tidak lain merupakan salah satu dari teknik gratifikasi modern.

Kalau dalam gratifikasi konvensional, penguasaha atau investor kasih uang sogokan kepada pejabat yang sudah aktif, maka dalam gratifikasi modern, para investor memberi uang kepada calon pejabat yang nantinya akan menjabat.

Sehingga si pejabat itu belum apa-apa sudah hutang budi duluan. Maka mau tidak mau si pejabat harus membuat kebijakan terntentu yang harus menguntungkan para investornya.

Lalu apa salah kita menerima uangnya semacam itu?

Paling tidak ada lima kesalahan sekaligus yang telah kita lakukan saat menerima bagi-bagi uang dari kandidat.

Pertama, kesalahan kita adalah memilih kandidat yang dari awal sudah terikat dengan para investornya. Biaya yang dibenamkan para investor sangat besar, dan kandidat tidak mungkin menutup mata kalau sudah jadi pejabat. Mau tidak mau dia pasti akan bikin kebijakan licik dan terselubung yang pasti harus menguntungkan investornya.

Kedua, kalau pun kita hanya ambil uangnya dan tidak pilih orangnya, kita juga tetap salah. Sebab sejak awal kita sudah menipu sang kandidat. Pura-pura mau milih ternyata kita tidak memilih.

Ini namanya menipu juga, dan menipu itu haram hukumnya, walau pun yang kita tipu itu sebenarnya maling atau penjahat. Maka makan uangnya penjahat dari hasil kejahatannya termasuk ikut makan uang haram juga.

Ketiga, sumber dan asal-usul uang yang dibagi-bagi itu jelas sudah haram, karena bagian dari ‘sogokan’ prematur, demi membeli sang kandidat.

Keempat, kalau kandidat itu kalah dan tidak jadi pejabat, maka dia akan mati berdiri, bahkan akan gantung diri. Sebab hutang-hutagnya berjibun, tidak bisa dibayarkan sampai tujuh turunan. Padahal kita tahu, sebagian dari uang itu sudah kita makan, padahal sumbernya dari hutang si kandidat gagal itu.

Kelima, alih-alih kita mengingatkan si kandidat yang melenceng dari kebenaran, ternyata kita malah ikut menikmati uangnya. Dosa kita adalah dosa mendiamkan kebatilan sekaligus menikmati uang kebatilan itu.

Alasan Harus Melihat Realita Demi Maslahat Yang Lebih Besar

Sebagian orang ada yang menutup mata dan main tabrak saja urusan seperti ini. Alasannya, karena semua kecurangan ini dianggap sudah menjadi ‘urf dan realita yang tidak bisa dipungkiri. Jadi yang tadinya haram hukumnya, bisa saja berubah jadi halal.

Maka saya melihat ada pihak-pihak tertentu yang seolah-oleh di tangannya ada kunci surga, lalu bermain api untuk menghalalkan segala cara, demi menduduki jabatan yang berlimpah dengan harta. Seolah-olah yang haram itu jadi halal di bawah fatwanya.

Kok bisa yang haram berubah jadi halal?

Alasannya, karena ada tujuan yang lebih besar dan manfaat yang jauh lebih tinggi, sehingga tidak mengapa kita melakukan hal-hal kecil yang haram, yang penting tujuan besarnya tercapai.

Astaghfirullahaladhzim. . . .

Inilah yang dinamakan al-ghayatu tubarrirul wasilah, demi mencapai tujuan, maka segala cara jadi halal hukumnya meski pada dasarnya haram. Bayangkan, betapa sesatnya paham dan aliran seperti ini.

Padahal maling sendal di masjid saja tahu hukum halal dan haram. Sehingga kalau ada maling sendal ketangkep dan diwawancarai apakah hasil curiannya itu halal atau haram, pasti maling itu bilang haram.

Bandingkan dengan kesesatan yang banyak melanda kita tentang haramnya money politik. Kita sering bilang bahwa uang-uang money politik, mahar politik  dan tetek bengeknya itu halal, alasanya karena demi mencapai tujuan yang lebih besar.

Nasrani itu dijuluki sebagai orang yang tersesat (adh-dhaallin) karena mereka bodoh, lugu dan memang tidak tahu hukum halal-haram. Tetapi yahudi dijuluki sebagai kaum yang dimurkai (al-maghdhubi ‘alaihim), bukan karena mereka tidak tahu, tetapi justru karena mereka sudah tahumana halal dan mana haram, tetapi mereka mengubah fatwanya, dari yang haram jadi halal.

Maka dosa mengubah fatwa hukum yang haram menjadi halal itu sangat besar. TIdak ada apa-apanya dibandingkan dengan dosa orang yang pada dasarnya tidak tahu halal-haram.

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun . . .

Ada satu lagi santri yang nyeletuk,”Ustadz, ada yang berfatwa bahwa semua uang-uang itu halal katanya. Sebab bisa diqiyaskan harta rampasan perang, ghanimah atau fa’i gitu”.

Sempurna sudah kesesatannya!!

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com