TRIBUNNEWS.COM – Kebijakan pemerintah membuka kran impor garam untuk industri menjadi polemik di kalangan petani garam.
Hal itu ditengarai karena kurangnya informasi tentang tujuan impor garam yang masuk dan akan digunakan sebagai bahan baku industri.
Menurut Sekretaris Maritime Society Agust Shalahuddin, garam industri adalah garam dengan kandungan NaCl yang tinggi, antara 95 hingga 97 persen.
Pada industri kimia, garam adalah bahan baku dan bahan penolong. Bagi manusia, garam adalah penyedap alias bumbu makanan.
“Sederhananya, untuk industri yang dicari adalah mineralnya (Natrium Klorida), sementara untuk bumbu, yang dicari adalah rasa asinnya,” kata Agust yang juga Founder Jurnal Maritim.
Pengguna garam industri adalah industri chlor alkali plant (CAP), farmasi, dan Industri Non CAP seperti perminyakan, pengasinan ikan, kulit, tekstil, sabun dan lain-lain.
Hasil produksi garam rakyat masih belum mampu memenuhi kualitas garam industri.
Penyebabnya macam-macam, salah satunya adalah rendahnya salinitas air laut di sentra-sentra produksi garam di Indonesia.
Untuk mencapai standar garam industri, diperlukan proses pengolahan lebih lanjut yang tidak murah.
“Masyarakat tidak perlu khawatir karena peruntukkan garamnya memang berbeda,” kata Agust.
Apakah garam industri dapat digunakan untuk konsumsi?. Menurut Agust, bisa saja, tapi tidak semudah itu.
Salah satunya adalah karena garam konsumsi harus mengandung yodium sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh Kemenkes RI.
Selain itu, industri pengguna garam tentu tidak mau melepas bahan bakunya ke pasar konsumsi karena secara bisnis tidak menguntungkan.
Hal di atas disampaikan Agust saat dimintai komentarnya tentang aksi penolakan garam impor oleh Petani Garam Madura di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, PT Mitra Tunggal Swakarsa mengimpor garam dari Australia untuk kebutuhan industri pengasinan ikan, namun petani mencurigai garam tersebut akan didistribusikan sebagai garam konsumsi.
“Perlu diketahui, pengguna garam terbesar adalah industri, bukan manusia. Industri kimia mengkonsumsi 60 persen dari produksi garam dunia. Manusia cuma sekitar 20 persennya,” ungkap Agust.
Dalam industri pengasinan ikan, garam digunakan untuk pengawetan ikan. Kadar NaCl nya minimal sekitar 95 persen. Makin tinggi kadar NaClnya maka makin baik proses pengawetannya.
“Nilai jual ikan yang sudah diawetkan jauh lebih tinggi dari hasil yang diperoleh dari menjual garam untuk kebutuhan konsumsi. Selain itu, kekurangan pasokan garam akan berdampak pada kerugian industri tersebut. Jadi kekhawatiran para petani saya kira agak berlebihan,” kata Agust.
Namun untuk melindungi produksi garam domestik, Agust setuju perbaikan terhadap mekanisme yang mampu memastikan garam industri impor tidak merembes ke pasar konsumsi.
Saat ini, pemerintah menggunakan instrumen izin impor garam yang mencakup volume dan kualitas.
“Garam impor yang tiba di pelabuhan harus diperiksa ijin impornya oleh Bea Cukai. Kualitas (kadar) NaCl garam impor tersebut diperiksa Balai Karantina. Kemudian dicocokkan dengan data industri penggunanya. Mekanisme ini saya kira sudah cukup untuk memastikan perlindungan terhadap garam domestik,” kata Agust. (Dwi Rizki/Warta Kota)