REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Universitas Gadjah Mada (UGM) Selasa (4/1) besok akan memperingati pindahnya ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Jakarta ke Yogyakarta, 4 Januari 1946 lalu. Peringatan tersebut dilakukan rutin oleh UGM sejak tahun 2007. Pasalnya kelahiran UGM juga berawal dari pindahnya ibukota NKRI ke Yogyakarta tersebut.
Berdasarkan sejarah kata Ketua Pusat Studi Pancasila UGM yang juga anggota Senat UGM, Prof Soetaryo, setelah Indonesia dinyatakan merdeka oleh Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pakualam VIII mengirimkan surat ucapan selamat atas kemerdekaan itu. Tanggal 5 September 1945 Sultan dan Pakualam menyatakan bergabung dalam NKRI.
Namun saat Belanda kembali datang ke Indonesia ketika membonceng Sekutu, keamanan Jakarta sebagai ibukota NKRI terancam. Belanda bahkan bisa menduduki Jakarta 29 September 1945. Tanggal 2 Januari 1946 Sultan HB IX mengirimkan kurir ke Jakarta dan menyarankan agar ibukota NKRI dipindah ke Yogyakarta. Tawaran Sultan diterima dengan oleh Soekarno, sehingga tanggal 4 Januari ibukota NKRI resmi pindah ke Yogyakarta.
“Yang menarik kenapa pilihan pindahnya ibukota saat itu ke Yogyakarta, bukan ke daerah lain seperti Solo, Semarang atau Balikpapan? Ini menarik untuk kita kupas dan kita gali lebih jauh,” terangnya.
Diakui Soetaryo, pilihan Soekarno untuk menerima tawaran Sultan tersebut bukan tanpa alasan. Yogyakarta menurutnya adalah daerah yang paling siap menerima kemerdekaan Indonesia. Yogya yang pertama kali menyiarkan kemerdekaan Indonesia melalui Masjid Gedhe Kauman setelah diproklamasikan di Jakarta.
“Dipilihnya Yogya karena Bung Karno tidak main-main. Yogya merupakan daerah yanhg paling siap, dari sisi politik, ekonomi bahkan keamanan Yogyakarta paling siap saat itu,” tandasnya.
Hal itulah yang juga menjadi bagian keistimewaan Yogyakarta. Menurutnya Kraton Yogyakarta dibawah kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX memiliki andil besar dalam sejarah berdirinya NKRI. Bahkan saat agresi militer Belanda ke II saat Yogyakarta diserang Belanda tahun 1949 saat banyak pimpinan negara yang ditawan Belanda, Sultan bahkan menyiapkan pemerintaha darurat.
Namun Yogyakarta kembali bisa direbut dalam perang rakyat 1 Maret 1949 dan pasukan Belanda ditarik dari Yogyakarta. Tanggal 6 Juli 1949 Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta tiba kembali di Yogyakarta dari pengasingan dan tanggal 17 Desember 1949 di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta (bukan di Gedung Negara), Soekarno dikukuhkan sebagai Presiden RI. “Saat itu Sultan menyerahkan dana 6 juta gulden untuk menjalankan pemerintahan Indonesia kepada Soekarno, karena pemerintah memang belum memiliki dana untuk menjalankan roda pemerintahan,” tegasnya.
Sumber Tulisan: Republika