Jakarta, CNN Indonesia — Petambak garam mengeluhkan jatuhnya harga garam konsumsi. Tidak tanggung-tanggung, harga garam jatuh hingga 50 persen.

Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) Waji Fatah Fadhilah mengatakan harga garam dari petambak di Kecamatan Krangkeng, Indramayu, cuma Rp400 per kilogram (Kg) dari harga normal di kisaran Rp750-Rp800 per Kg.

Menurut dia, anjloknya harga garam konsumsi karena rendahnya penyerapan oleh PT Garam (Persero), industri makanan dan minuman, maupun pembeli lokal.

Ia menuturkan PT Garam biasanya menyerap 20 ribu ton-50 ribu ton garam pada periode Juni-Juli yang bertepatan dengan masa panen. Namun, hingga kini perusahaan pelat merah itu belum juga menyerap garam rakyat.

 Jadi masih banyak persediaan, sehingga garam di petani tidak terserap,” imbuhnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (10/7).

Penurunan penyerapan garam, lanjutnya, membuat ketersediaan garam konsumsi menumpuk lantaran memasuki periode panen garam yang berlangsung sepanjang Juli hingga Oktober.

Di Kecamatan Krangkeng, terdiri dari 5 desa penghasil garam konsumsi. Saat siklus panen, setiap desa mampu menghasilkan 30 ribu ton garam. Itu berarti, ada pasokan 15 ribu ton garam konsumsi di Indramayu. Jumlah itu belum memperhitungkan pasokan lama yang tersimpan di gudang sebanyak 5.000-8.000 ton. 

Akibatnya, garam konsumsi di Indramayu menumpuk hingga kurang lebih 23 ribu ton. Kondisi ini membuat petambak kesulitan. Walhasil, mereka hanya bisa menjual garam konsumsi kepada pengusaha lokal yang memiliki keterbatasan tingkat penyerapan.

“Biasanya kami jual ke lokal dari Jakarta, Lampung, Riau. Per bulan mereka hanya menyerap 10 ton -20 ton untuk satu perusahaan, karena memang kecil,” katanya.

Ia tidak menampik petambak memiliki keterbatasan dalam menyediakan garam industri dengan kandungan NaCl antara 95 persen hingga 97 persen. Sebab, garam konsumsi yang dihasilkan petambak hanya memiliki kadar NaCl sebesar 94 persen. Akibatnya, penyerapan garam konsumsi hanya terbatas pada sektor makanan dan minuman.

“Garam dari impor tidak bisa dimakan, maka diambil sekian persen dari rakyat. Hanya, kebutuhannya minim karena ada garam impor,” paparnya.

Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah untuk memaksimalkan pembinaan kepada petambak terkait pengolahan garam industri. Pemerintah disebut belum melakukan pembinaan langsung kepada petambak garam, sehingga petambak belum bisa menyediakan kebutuhan industri.

“Petani belum bisa jaga kualitas, lalu dari industri belum ada kebutuhan angka NaCl yang jelas. Pemerintah sendiri belum ada binaan langsung terkait garam industri. Sebetulnya, pemerintah harus ada binaan paling tidak 100 orang per kecamatan, jangan binaannya hanya di atas meja,” tandasnya.

(ulf/agt)