KUDUS – Sastrawan yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Maman S. Mahayana, menegaskan, bahwa perlu paradigma baru pembelajaran sastra Indonesia.

Penilaian itu disampaikan saat menjadi narasumber dalam seminar yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muria Kudus (UMK), baru-baru ini.

‘’Banyak problem pengajaran sastra Indonesia hingga kini. Antara lain sekadar sebagai pengetahuan an-sich, pengetahuan teori lebih penting (dikedepankan-Red) ketimbang apresiasi, dan penilaian yang hanya mendasarkan pada benar-salah saja,’’ ujarnya.

Selain itu, lanjutnya dalam seminar yang dibuka Rektor UMK, Dr. Suparnyo SH. MS. itu, probelm lain pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, juga kualitas guru, seringkali berbenturan dengan (aturan) kurikulum yang berlaku, hingga pada urusan Ujian Nasional (UN).

‘’Ke depan, revisi total terhadap sejarah sastra Indonesia ini penting, dan antara pembelajaran bahasa dan sastra mesti dipisah. Paradigma baru pengajaran di bidang ini, untuk siswa SD dan SMP, tekankan pada keterampilan mengarang dan apresiasi sastra, sedang untuk SMA tekankan pada keterampilan menulis,’’ ungkapnya.

Keterampilan menulis bagi siswa SMA, paparnya, sebagai salah sati manifestasi apresiasi sastra dan pintu masuk memahami Indonesia secara luas. ‘’Pada akhirnya, proses pembelajaran seperti ini akan mengantarkan generasi penerus bangsa untuk memahami demokratisasi,’’ tuturnya.

Sastrawan dari Institut National des Langues et Civilisations Orientales (Inalco), Perancis, Etienne Naveau, narasumber lain dalam seminar itu, menyampaikan bahwa sastra Indonesia menjadi bagian yang dikaji lembaga di mana ia bekerja.

‘’Bagian Indonesia di Inalco, memiliki 4 dosen tetap, 1 ahli tata bahasa, 1 ahli sastra plus dua dosen tamu yang merupakan penutur asli. Selain itu, ada 1 pelatih bahasa tulis dan 1 pelatih percakapan,’’ urainya pada seminar yang dihadiri lebih dari 300 peserta terdiri atas pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen.

Dia sendiri mengaku, selain mengajar sejarah sastra Indonesia dan menerjemahkan, juga mengajar kebudayaan Indonesia. ‘’Saya memusatkan perhatian pada debat politik dan dialog antaragama. Dan saat ini, Saya lebih fokus pada dunia sastra, terutama puisi,’’ jelas pengagum Pramoedya Ananta Toer itu. (*)