KUDUS – Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah menggelar Focus Group Discussion (FGD) mengkaji (mengkritisi) isi sinetron. FGD diselenggarakan di Hotel Griptha, Kudus, Selasa (20/9/2016).
FGD yang difasilitasi dua komisioner KPID Jawa Tengah, Mulyo Hadi Purnomo dan Tazkiyatul Muthmainnah, ini antara lain KH. Ulinnuha (tokoh masyarakat), H. Agus Hari Ageng (sekretaris PCNU Kudus), Siti Malaiha Dewi dan Moh Rosyid (STAIN), Pipiek Isfianti (sastrawan), Rosidi (Universitas Muria Kudus/ UMK), serta Qomarul Adib, Rochmansyah Setiawan dan Septina Nafiyanti (jurnalis).
‘’Ini adalah FGD yang ke sembilan yang digelar KPID. Mengapa sinetron ini menjadi fokus bahasan, karena berdasarkan survei indeks kualitas program siaran oleh KPI pada 2015 dan 2016, sinetron itu tayangan yang paling tidak bermutu (berkualitas),’’ katanya.
Untuk itu, menurutnya, FGD kali ini adalah dalam rangka meminta masukan terkait berbagai hal tentang sinetron televisi yang ada di Indonesia. ‘’Dalam pengamatan sepintas Saya, sinetron lebih banyak menyuguhkan dramatisasi yang berlebihan, khususnya dalam hal dialog,’’ ujarnya.
Siti Malaiha Dewi, dalam kesempatan itu memaparkan, banyak sinetron yang menyuguhkan tontonan yang tidak bisa menjadi teladan, termasuk di antaranya memosisikan perempuan di posisi yang sangat diskriminatif.
‘’Banyak sinetron yang mencitrakan laki-laki lebih superior ketimbang perempuan. Perempuan porsinya kebanyakan di dapur atau meja makan,’’ tegas dosen STAIN Kudus yang juga aktif di pergerakan perempuan ini.
Ulinnuha, mengutarakan, banyak masyarakat Indonesia dalam keseharian hampir setiap waktu di depan televisi. ‘’Masyarakat tidak di depan televisi, mungkin hanya saat jam kerja atau listriknya padam,’’ paparnya.
Dia menambahkan, terkait konten sinetron, menurutnya lebih banyak yang tidak mendidik. ‘’Untuk itu, harus ada pendampingan untuk memfilter agar tayangan yang tidak mendidik itu, tidak berdampak buruk pada perkembangan anak, dimulai dari keluarga masing-masing,’’ tuturnya.
Sekretaris PCNU Kudus, H. Agus Hari Ageng, berharap agar dimunculkan konten-konten yang mendidik. ‘’Yang ada saat ini, konten siaran televisi sangat tidak mendukung bagi pendidikan karakter anak yang digelorakan pemerintah,’’ terangnya.
Fakta di lapangan, lanjut Hari Ageng, anak-anak, tidak hanya di perkotaan, tetapi juga di desa-desa, terkena dampak negatif sinetron. ‘’Dampak ini antara lain pacaran yang sudah kebablasan,’’ ungkapnya.
Rochmansyah Setiawan dari Simpang 5 TV, mengatakan, realitas industri pertelevisian, profit (duit) adalah madzhab tersendiri. ‘’Profit bagi industri televisi ini penting. Tanpa ini, karyawan tidak bisa hidup. Dan perlu dipahami, ongkos produksi televisi lebih tinggi ketimbang radio dan koran,’’ urainya.
Sementara itu, di akhir FGD, Tazkiyatul Muthmainnah memaparkan berbagai contoh konten siaran televisi, termasuk lagu-lagu yang pernah direkomendasikan untuk tidak diputar lagi. ‘’Kami berpesan, jika ada isi siaran maupun lagu-lagu yang akan berdampak negatif di masyarakat, silakan laporkan pada kami (KPID-Red),’’ tegasnya. (*)