Demak – Desa Merdeka: Hujan yang turun tiga hari berturut turut hingga hari ini Selasa (29/10) di seputaran pantai Wedung mengakhiri panen garam tahun ini. Lahan garam yang biasanya ramai dengan ratusan petani garam kini sepi ditinggalkan oleh pemiliknya. Mereka membiarkan lahannya dipenuhi air hujan . Alat alat pengolahan juga masih dibiarkan teronggok di lahan.
“ Ya kalau setiap hari sudah hujan meski sebentar berarti musim garam sudah usai. Kita biarkan lahan di penuhi air hujan kalau ada modal kita tebarkan bibit bandeng dan udang “, kata Musyafik petani garam dari desa Kedungmutih .
Musyafik mengatakan panen garam tahun ini tak selama tahun kemarin . tahun ini panen garam hanya 3-4 bulan saja. Akibatnya garam yang dihasilkan jumlahnya tidak maksimal seperti tahun kemarin. Gudang-gudang garam milik petani dan pengepul dalam kondisi tidak penuh. Selain itu simpanan garam tahun kemarin kebanyakan sudah habis dijual.
“ Kalau dibandingkan hasil tahun kemarin. Perolehan garam tahun ini hanya separoh lebih sedikit dibandingkan tahun kemarin. Gudang sayapun masih kosong melompong “, aku Musyafiq.
Hal sama juga di katakan Haji Achmadi petani garam dari desa Kedungkarang. Hasil garam di lahannya tidak bisa maksimal seperti tahun yang lalu. Tahun kemarin dia bisa menjual garam pada pengepul ratusan keranjang. Selain itu masih ada sisa yang disimpan di gudang.
“ Tahun ini boro-boro menjual pada pengepul . Untuk mengisi gudang saja tidak bisa penuh. Selain waktunya yang singkat juga panasnya tidak begitu kuat “, kata Haji Achmadi yang mengaku telah puluhan menggarap lahan garam.
Menurut H. Achmadi musim garam tahun ini meski hasilnya tidak begitu banyak. Namun dari segi harganya masih cukup bagus bagi petani . Harga garam krosok di lahan petani berkisar antara Rp 10 ribu – 12 ribu perkeranjang. Biasanya 3 keranjang jika ditimbang sekitar 1 kwintal.
“ Alhamdulillah meski hasilnya tidak begitu banyak . Namun harga masih bagus . Apalagi jika nanti musim penghujan tiba. Mudah-mudahan bisa naik Rp 50 ribu – Rp 70 ribu perkwintalnya “, tukas Haji Achmadi (Muin)