Kudus – Komunits Lintas Agama dan Kepercayaan Pantura (Tali Akrap) sebuah perkumpulan lintas agama pada Sabtu, 8 Agustus 2015 pukul 08-12 wib mengadakan acara Halal bi Halal di Kudus, Jateng. Acara dihadiri 9 elemen sosial, yakni umat Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, penghayat kepercayaan, Konghucu, muslim, wong Samin pemeluk agama Adam, dan umat agama Baha’i dari Desa Cebolek, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Satu hal yang menarik dalam forum tersebut adalah sebutan agama Baha’i yang belum familier bagi yang hadir. Hal ini menurut Moh. Rosyid, pegiat dari Tali Akrap dan pemerhati sejarah agama dari STAIN Kudus, akibat perlakuan tak simpatik era Orla hingga Orba pada umat Baha’i. Akan tetapi, sejak Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerbitkan surat Keputusan Presiden (Kepres) Nomor:69 Tahun 2000 tanggal 23 Mei 2000 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 yang melarang agama Bahai di Indonesia, keberadaan Baha’i sah di negeri ini, selayaknya diterima pemerintah daerah dan masyarakat dengan sepenuh hati. Dalih Presiden Gus Dur mencabut adalah larangan pada agama Baha’i di Indonesia tak sesuai dengan prinsip demokrasi. Agama ini tumbuh di Iran tahun 1844 dan kini tertebar di 191 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Adapun tumbuh di Desa Cebolek, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati Jateng sejak 1957 hingga kini. Proses penyebaran di Indonesia diawali kiprah seorang ahli medis yang membawa bendera PBB sebagai suka relawan dalam penanggulangan penyakit endemis malaria di Indonesia. Paparan tentang agama Baha’i disampaikan oleh Hanafi, dkk. Baha’i merupakan agama independen/mandiri, tak terkait dengan agama yang ada, dan bersifat universal. Tujuan agama Baha’i adalah untuk mewujudkan transformasi rohani dalam kehidupan manusia dan memperbarui lembaga masyarakat berdasarkan prinsip kesatuan. Dalam ajaran Baha’i, semua manusia mendapat ilham dari Tuhannya dari satu sumber surgawi, sehingga hal ini dapat dijadikan modal terwujudnya kesatuan seluruh umat manusia sedunia. Berpijak pada Kitab Sucinya al-Aqdas, umat Baha’i mewujudkan toleransi antarumat beragama di dunia ini. Lanjut Rosyid, sudah saatnya hak sipil umat Baha’i dipenuhi oleh negara sebagai warga negara yang beragama, seperti diberi akta kawin bila kawin secara Baha’i, agamanya ditulis dalam kolom KTP, tidak lagi diberi setrip (-) dalam kolom agama di KTP, diberi hak menerima pelajaran agama Baha’i oleh guru agama Baha’i di lembaga pendidikan formal. Mereka selalu menaati peraturan pemerintah sebagai dasar pijakan pemerintah untuk memenuhi haknya. Ketaatan ini dinyatakan oleh Kepala Desa Cebolek tatkala umat Baha’i menjamu mahasiswa STAIN Kudus buka bersama bulan Ramadan lalu di rumah mukmin Baha’i.(RS) |