Kudus – Kota Kudus selain mendapat julukan Kota industri, santri, dan wali, layak pula mendapat julukan kota pluralisme. Di daerah yang dikenal dari jenangnya hidup bermacam agama ,namun mereka hidup berdampingan secara damai. Ini sudah terjadi sejak dahulu dimasa

Menurut Moh.Rosyid, pegiat Komunitas Lintas Agama dan Kepercayaan Pantura (Tali Akrap) juga pemerhati sejarah dari STAIN Kudus, hal ini terpotret hubungan harmonis antara muslim dengan buddhis dalam perayaan 1 Syawal yang tergambar di Desa Kutuk, Kecamatan Undaan. Warga buddhis, terutama yang senior menyajikan makanan/jajanan di rumahnya untuk tamu orang Islam yang merayakan 1 Syawal.

Orang Islam pun bersilaturahim di rumah warga Buddhis, sebaliknya warga buddhis bersilturahim di rumah orang Islam yang merayakan 1 Syawal. Keduanya saling memohon maaf dan warga buddhis mengucapkan selamat berlebaran. Hal serupa dilakukan wong Samin yang mengaku beragama Adam di Desa Larekrejo Kecamatan Undaan.

Perayaan 1 Syawal menjadi tradisi kedua umat beragama yang saling menghormati dengan saling bertandang. Penghormatan tersebut berlangsung sejak lama dan mengakar menjadi tradisi. Mengapa harmoni tercipta? mereka menyadari bahwa sebagai manusia saling membutuhkan bantuan sehingga kebutuhan untuk membaur dalam berbagai interaksi sosial.

Tradisi keagamaan dijadikan upaya mengeratkan interaksi sehingga nihil konflik. Bahkan, lanjut Rosyid, pada perayaan 1 Syawal tatkala saling bertandang dan memaafkan, sulit membedakan mana yang muslim dan mana yang budhis karena keduanya membaur dan tak ada pembeda dalam berpakaian dan lainnya.

Eksistensi umat Buddhis di Desa Kutuk kian kokoh dengan didirikannya wihara Buddha Santi di Desa Kutuk tahun 1967 dan wihara boddhi vajra tahun 1994 yang berdiri megah hingga kini.****