Mbah Parmo Maestro Kentrung di temani cucunya Arif Sunarwan manggung di Radio Kartini FM Jepara

Jepara – Pemerhati atau Pecinta  Seni Kentrung di Jepara saat ini masih ada meski tidak sebanyak waktu dulu. Begitu juga seniman yang menekuni seni tutur dan music ini. Dulu ada banyak dalang kentrung . Namun saat ini hanya tinggal dalam hitungan jaripun tak genap.

Salah satu Dalang kentrung Jepara yang masih manggung dan menerima tanggapan adalah Mbah Parmo warga desa Ngabul kecamatan Tahunan yang tinggal di gang Kentrung .Saat ini Mbah Parmo bisa dikatakan sebagai maestro dalang Kentrung di Jepara yang masih melestarikan tradisi.

Ketika manggung di Radio Kartini FM Jepara Selasa 29/10/2024  Mbah Parmo mempunyai kegelisahan tentang kelestarian seni kentrung ini. Hingga kini belum ada warga Jepara  yang mau diwarisi seni khas pesisir utara Jawa itu. Dan faktanya di Jepara.Beruntung ia mempunyai cucu yang tertarik pada seni kentrung ini.

Pada percakapannya dengan Muria News.Com  Sabtu (23/9/2017), pria berkumis putih itu mengatakan , cerita seni kentrung  sendiri berasal dari hikayat ataupun legenda mengenai suatu daerah.Selainm bercerita juga memainkan music berupa alat terbang atau rebana.

“Kesenian kentrung niku nabuh terbang karo ngomel, diseseli parikan kanggo senggakan. Biasane dimainke wong loro, sing siji cerita sejarah, sijine nyenggaki (Kesenian kentrung adalah menabuh terbang sambil bercerita, kemudian diselipkan pantun sebagai penjeda. Biasanya dimainkan dua orang, yang satu bercerita tentang sejarah dan yang satu berpantun),” katanya yang mengaku tak bisa berbahasa Indonesia dengan baik.

Ia sendiri bisa Ngentrung karena belajar secara otodidak tanpa panduan dari ayahnya, Subari pada sekitar tahun 1964. Lantas pada tahun 1970 ia dipercaya tampil satu panggung dengan ayahnya. Tugasnya adalah nyenggaki, atau berpantun. Sementara itu ia diminta oleh ayahnya untuk memelajari dan mengingat setiap hikayat yang dituturkan oleh gurunya itu.

“Ceritane Kentrung iku babagan sejarah, kayata Angling Dharma, Jalak Mas, Murtosiyah, Juwarsah, lan Joharmanik. Mbiyen pa’e duwe catetane pakem, tapi disilih uwong ora balik. Dadi saiki aku ora duwe pakem tulis, pakemku iki ya saka ngelmu rungok saka bapaku Subari (Cerita kentrung berkisah tentang sejarah, seperti Angling Dharma, Jalak Mas, Murtosiyah, Juwarsah, dan Joharmanik.

Dulu ayah saya punya catetan pakem tentang lakon itu, tapi bukunya dipinjam orang dan tidak kembali. Jadi sekarang aku tak punya panduan secara tertulis, cerita yang kini ku ceritakan berasal dari ilmu mendengarkan dari bapak saya),” kenangnya.

Dulu saat zaman keemasan kentrung di Jepara, setidaknya tercatat ada delapan orang yang memainkan seni tersebut. Namun sekarang hanya tinggal dirinya  yang masih ngentrung ditemani  cucunya Arif yang membantu nyenggaki . Dengan adanya teman pagelaran sei kentrung bertambah gayeng.

Menurutnya, hingga kini belum ada orang yang benar-benar tertarik memelajari kesenian itu. Banyak orang yang melakukan penelitian, namun untuk memelajari dan mementaskannya tidak ada.Mbah Parmo sangat menyayangkan hal tersebut, karena menurutnya seni tersebut tak hanya hiburan dan mata pencaharian, namun didalamnya mengandung pembelajaran.

Agar seni Kentrung Jepara tetap lestari Ia Mbah Parmo mengumumkan bahwa dirinya sanggup untuk mengajari seni kepada siapa saja yang berminat. Itupun akan diajarinya tanpa biaya, namun hingga kini belum ada satupun yang mau.

“Eman-eman yen ilang, kula siap upami wonten ingkang ngregem ilmune kula ngentrung, kula nggih pun sepuh.  Sedaya niku mboten usah mbayar (Sayang kalau seni ini sampai hilang, saya siap menerima murid yang mau dan tidak usah membayar),” pungkasnya.