Desamerdeka : Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah daerah tertinggal yang tinggi. Saat ini ada 9 daerah tertinggal dari 12 kabupaten/kota (75 %). Angka ini tentunya sangat memprihatinkan. Kenapa bisa seperti ini ? Tanggungjawab siapakah ini ? Dan apa yang harus dilakukan ?
Pengertian Daerah Tertinggal yaitu daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. Daerah tertinggal ini ditetapkan berdasarkan atas 6 kriteria, yaitu : perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, infrastruktur, kemampuan keuangan lokal, aksesibilitas, dan karakteristik daerah.
RPJM Nasional (2010-2014) telah menetapkan 183 Daerah Tertinggal dari 483 kabupaten/kota (38 %) yang ada di Indonesia. Dan sebagai wujud kesungguhan pemerintah, saat ini daerah tertinggal menjadi salah satu prioritas nasional dari 11 prioritas nasional yang ada. Penetapan daerah tertinggal sebagai prioritas nasional dalam RPJM Nasional mengandung konsekuensi bahwa semua pihak, dalam hal ini pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten bertanggungjawab untuk mensukseskan pembangunan daerah tertinggal.
Secara nasional, dalam Kabinet Indonesia Bersatu terdapat Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) yang diantaranya memiliki tugas merumuskan kebijakan dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan daerah tertinggal. Di targetkan pada tahun 2014, secara nasional paling tidak ada 50 kabupaten yang terentaskan dari ketertinggalan. Adakah salah satunya nanti berasal dari Provinsi Sulawesi Tenggara ? Mampukah Provinsi Sulawesi Tenggara terbebas dari daerah tertinggal menyusul 6 provinsi lainnya yang telah berhasil terbebas dari kabupaten yang berstatus daerah tertinggal (Riau, Jambi, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Bali, DKI Jakarta). Jawabannya, “sangat mungkin”. Tapi semuanya berpulang dari kerja keras semua pihak dan adanya sinergitas dari kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, serta peran serta swasta dan masyarakat.
Saat ini secara nasional ada kesan, pembangunan daerah tertinggal semata-mata hanya menjadi tugas kementerian/lembaga (pemerintah pusat). Hal ini paling tidak dibuktikan jika menelisik dokumen-dokumen perencanaan provinsi dan kabupaten, masih sangat jarang yang fokus pada penanganan daerah, wilayah, dan desa tertinggal.
Beberapa kebijakan, program/kegiatan kementerian yang sedianya diarahkan untuk masayarakat dan desa tertinggal, misalnya, terjemahannya di tingkat kabupaten tidak pas. Penentuan lokasi kegiatan hanya di arahkan pada lokasi-lokasi yang dekat perkotaan, atau atas dasar kepentingan politik lokal. Contoh yang paling kasat mata adalah pada pemanfaatan Dana Alokasi Sarana dan Prasarana Perdesaan (DAK SPP).
Dari beberapa kasus yang ditemui di beberapa kabupaten penerima DAK SPP di Indonesia banyak yang menyimpang dari petunjuk teknis yang di keluarkan KPDT. Moda transportasi darat atau perairan sebagai menu kegiatan DAK SPP Tahun 2009 dan Tahun 2010 banyak yang tidak dinikmati masyarakat. Penerima manfaat langsung dari pengadaan moda transportasi darat atau perairan sedianya adalah para pelaku usaha skala kecil daerah setempat untuk mendukung aktivitas ekonomi, serta masyarakat lainnya dalam rangka mengakses pelayanan publik, seperti: sekolah, puskesmas, rumah sakit, dan lokasi pelayanan publik lainnya. Dalam faktanya, ada beberapa kabupaten yang memilih kendaraan mewah dan digunakan sebagai mobil dinas atau kendaraan operasional kantor. Kondisi-kondisi di atas menunjukkan daerah belum sepenuhnya memiliki spirit yang sama dalam pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal.
Disamping persoalan spirit atau komitmen tersebut, tak kalah pentingnya adalah perlunya peningkatan koordinasi dan sinergitas program/kegiatan antar tingkatan pemerintahan. Beberapa inisiatif model bentuk sinergitas program/kegiatan dalam skala kecil saat ini banyak diluncurkan. Seperti KPDT meluncurkan kegiatan bedah desa, dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat meluncurkan program/kegiatan Pandu Gerbang Kampung. Untuk program yang terakhir ini, salah satu kabupaten yang terpilih sebagai lokasi kegiatan adalah Kabupaten Konawe.
Tentunya bentuk koordinasi dan sinergitas program/kegiatan idealnya tidak hanya diwujudkan dalam bentuk model-model percontohan. Jauh lebih strategis adalah bagaimana membangun koordinasi dan sinergitas program/kegiatan yang bersifat reguler. Bagaimana misalnya koordinasi dan sinergitas pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK). Seperti diketahui bahwa saat ini ada 19 (sembilan belas) bidang DAK (lihat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 216 /PMK07/2010 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2011). Otoritas pemerintahan di level kabupaten/kota harus kreatif mensinergikan bidang-bidang DAK ini untuk adanya optimalisasi pemanfaatan dana serta sebesar-besarnya manfaat dirasakan oleh masyarakat.
Saat ini memang telah ada forum-forum koordinasi semacam Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) mulai dari level desa sampai nasional. Tapi tampaknya forum ini belum optimal, dan tidak bisa koordinasi dan sinergitas program/kegiatan mengandalkan forum ini saja. Masih dibutuhkan dukungan, forum, dan prasyarat lain, seperti: ketersediaan data/informasi, tidak adanya ego sektoral, komunikasi yang berkesinambungan, dan diterapkannya prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik/good governance (transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi).
Pembangunan daerah terutama daerah tertinggal dalam era desentralisasi dan otonomi daerah ini memang masih memiliki banyak masalah dan kendala. Perjalanan untuk mensejahterakan masyarakat tampaknya masih panjang. Untuk mencapainya membutuhkan kesungguhan, kesabaran, dan pengorbanan.
facebook : https://www.facebook.com/arisarisadi