Desa Merdeka : Teman-teman, membahas RUU Desa versi (usulan) Pemerintah, versi DPD-RI, maupun usulan CSO, kita akan pusing sendiri bila tidak memahami desa seharusnya diletakkan seperti apa terhadap negara. Tulisan ini sedikit membahas posisi desa agar kita menjadi lebih akurat menempatkan desa dalam RUU Desa ke depan. Semoga teman-teman DPR-RI yang akan mensahkan RUU tersebut pun bisa memahami sebelum mengetok palu…..

Dari hasil diskusi sepagi-siang ttg RUU Desa, di Yogya pada Selasa 10/1/2012 [dipelopori oleh CSO pemerhari RUU Desa] yang lalu, maka saya berkesimpulan bahwa:

(1) Bila kita memetakan desa (entitas sosial-masyarakat di atas sebuah kawasan) dari perspektif/ranah tingkat kedalaman otonominya utk mengatur SDA dan kehidupan diri sendiri, maka desa sbg kesatuan masyarakat hukum (desa yg “bisa” membuat aturan + mengurus dirinya), dapat dibagi ke dalam 2 kutub. Kutub pertama adalah self governing community (spt mewujud dalam kesatuan-kesatuan masyarakat adat dayak, baduy, suku anak-dalam, dsb). Mereka memiliki hukum adat yg mengatur secara jelas “relasi-kuasa” antara komunitas dan basis material penopang kehidupannya seperti tanah, air, hutan, pesisir dsb.

Di kutub yg lain, adalah local government entity yg menempatkan desa sekedar sub-ordinat pemerintah/otoritas di atasnya yang tidak punya kewenangan mengatur dirinya sendiri terkait dengan basis material penopang kehidupannya. Sehingga, desa dikatakan sepenuhnya dalam “relasi kuasa” yang timpang, dimana nasib desa tergantung pada sejauh mana otoritas di atasnya memberikan direction utk mengatur pemanfaatan, pengelolaan dan mengkonservasi SDA. Derajat otonomi pada kutub ini relatif lebih rendah dari pada kutub pertama. Desa ini, mirip desa-desa di Jawa.

(2) Bila kita memetakan desa dari perspektif derajat integrasinya dengan pengaturan sektor-sektor penghidupan/kehidupan/SDA yang ada di ruang-desa, maka kita akan dapati dua kutub yang berlawanan, yaitu: “desa dengan totalitas kuasa [kuasa-atur, kuasa-usaha, kuasa-guna] thd SDA” di satu titik/kutub dan di kutub lain “desa dengan totalitas tanpa kuasa apapun thd SDA. Desa ini adalah desa saat ini di Indonesia, dimana kuasa-atur, kuasa-usaha, dan kuasa-guna berada di otoritas “ekstra-desa” yang dikukuhkan kewenangannya oleh UU sektoral.

Bila dua kutub (pada setiap perspektif tadi) saling dihubungkan satu sama lain, maka (pada setiap perspektif) akan terbentuk SATU GARIS KONTINUUM yang berisi kombinasi tak terhingga jumlahnya atas kombinasi yang membawa sifat-sifat dari setiap ujung/kutubnya. Dengan cara yang sama dibuat garis kontinuum pada perspektif kedua. Dengan demikian, maka kini akan didapati 2 (dua) garis KONTINUUM yang bila DILETAKKAN SALING TEGAK LURUS (bersilang), maka akan  menghasilkan 4 (empat) ruang kuadran yang setiap ruang merupakan model pengaturan desa yg khas. Khas secara kedalaman otonominya dalam pengaturan sosial-kemasyarakatan dan khas pada kedalaman kuasanya atas SDA.

Dengan mengikuti alur arah jam (clock-wise), maka ada 4 tipe yg bisa kita pilih, kemanakah RUU Desa akan menuju..

Pada KUADRAN SATU akan kita punyai desa-desa, dimana berciri SELF GOVERNING COMMUNITY yang secara otonom relatif “berdaulat” di hadapan negara, namun sekaligus juga berciri “TOTALITAS KUASA [kuasa-atur, kuasa-usaha, kuasa-guna] thd SDA”. Kesatuan sosial-masyarakat adat seperti Baduy, Kampung Naga, Suku Anak Dalam, Ketemenggungan Dayak dst. Sekalipun ada pertanyaan kritis bhw kesatuan masyarakat kategori ini meluntur juga.

Pada KUADRAN DUA terletak desa-desa dengan kedalaman otonomi yang dangkal karena sifatnya LOCAL GOVERNMENT ENTITY yang subordinat terhadap kuasa “ekstra desa” (Pemkab/Pemerintah pusat) yang mendikte, namun kesatuan sosial-masyarakat ini memiliki “TOTALITAS KUASA [kuasa-atur, kuasa-usaha, kuasa-guna] thd SDA”. Sulit membayangkan desa seperti ini (akan) ada dan eksis pd saat sekarang di Indonesia. Boleh disebutkan, bhw desa di kuadran ini, tata-pemerintahannya “modern-tapi-tersubordinat” tapi sekaligus berkuasa atas SDA yang kuat tak hanya pd SDA berskala lokal. Apakah pola ini yg dimaui RUU Desa? Ruang ini apakah merepresentasikan desa-desa ke depan?

Pada KUADRAN KETIGA adalah letak desa-desa TAK BERDAYA SECARA TOTALITAS, karena berciri LOCAL GOVERNMENT ENTITY yang subordinat terhadap kuasa “ekstra desa” (Pemkab/Pemerintah pusat) yang mendikte. Sekaligus desa sebagai kesatuan sosial-masyarakat ini berciri “TOTALITAS TANPA KUASA APAPUN (kuasa-atur, kuasa-usaha, maupun kuasa-guna) TERHADAP SDA”. Inilah desa-desa saat ini yang terdapat di desa ala Jawa yg ada di Provinsi kaya SDA spt  Sumsel, Riau, Kaltim yang menjadi “tamu” di tanahnya sendiri. Kemiskinan merebak di atas sumberdaya yang melimpah, tetapi semua tak bisa dikontrol, karena sumberdaya agraria itu berada dalam pengaturan UU sektoral dan Otoritas pemerintah Pusat menentukan segalanya. Keresahan inilah yg menghadirkan para pemikir desa yg saya sebut kelompok ROMANTIS-UTOPIS yang hendak MEREBUT SDA itu ke tangan desa kembali? Pertanyaannya, bagaimana RUU Desa melihat hal ini? Adakah “ruang utk merebut kembali SDA” itu dalam RUU Desa versi manapun?

Pada KUADRAN KEEMPAT adalah kesatuan sosial-masyarakat desa dengan otonomi kuat dalam pemerintahan warga yg mempraktekkan SELF GOVERNING COMMUNITY tetapi pada saat yang sama berciri “TOTALITAS TANPA KUASA APAPUN TERHADAP SDA”. Desa-desa di kuadran ini dicontohkan oleh komunitas masyarakat adat di Papua yang memiliki organisasi sosial-budaya kemasyarakatan khas adat yg legitimate, tetapi SDA-nya diatur oleh sektor2 di luar kuasa mereka. Problema UU Sektoral (UU pertambangan, UU kehutanan, UU Perkebunan dsb) yg berhadap-hadapan dengan sistem livelihood/penghidupan masyarakat adat, tepatnya berada di kuadran ini. Hasilnya adalah masyarakat adat yg menderita di atas gemerlap SDA di tanahnya. Kalangan UTOPIS-ROMANTIS-POPULIS menginginkan “revolusi/dekonstruksi” thd UU sektoral seperti UU Sumberdaya air, UU kehutanan, UU perkebunan (yg sangat musykil dilakukan, karena saking banyaknya dan saking sudah establish-nya UU tsb) adalah, karena alasan ketidakberdayaan SDA tsb. Pertanyaannya: bisakah RUU Desa mengakomodir/menetralisir keresahan ini?

Secara umum, mestinya KUADRAN SATU adalah area dimana terdapat DESA IDEAL itu. Tetapi kuadran satu akan tinggal menjadi UTOPIA bila RUU Desa tak bisa meretas jalan kesana.

Saya melihat RUU Desa versi Pemerintah, akan tetap menciptakan desa-desa di KUADRAN DUA, TIGA, dan EMPAT.

Sekali lagi, mampukah kita merumuskan RUU yang bisa membawa ke ranah Kuadran satu….atau “SEKEDAR MENDEKATI KUADRAN SATU” tak perlu persis di kuadran tsb.

Salam

Arya H Dharmawan

Dosen Sosiologi Pedesaan IPB

facebook : https://www.facebook.com/arya.dharmawan