Menurut Mahfud MD, Terhitung tahun 2003-2013 MK telah meproses 503 ‘judicial review’. Sebanyak 167 diantaranya dikabulkan, ini artinya 33% produk UU yang diajukan permohonan pembatalannya ke MK dinyatakan dikabulkan, dengan pertimbangan bertentangan dengan UUD RI. Dengan dikabulkannya gugatan di MK, maka undang-undang yang dibatalkan secara hukum dinyatakan terbukti melanggar konstitusi atau bertentangan dengan UUD RI.
Apabila di cermati, bahwa UU adalah produk hukum yang berasal dari pengesahan – kesepakatan – DPR dan diundangkan oleh Presiden selaku Kepala Pemerintah, dengan demikian pada intinya yang terlibat dalam proses pembuatan dan diundangkannya UU adalah DPR dan Pemerintah. UU yang akan diundangkan oleh Presiden isnya tidak boleh ada yang bertentangan dengan UUD. Dengan demikian sebelum UU disahkan dan diundangkan, DPR dan Presiden berkewajiban untuk benar-benar menjamin dengan sadar bahwa UU yang akan diundangkan sama-sekali tidak melanggar/bertentangan dengan sebagian atau seluruh dari apa yang tersebut dalam UUD. Hal ini sangat penting karena apabila dikemudian hari ternyata sebagian atau seluruh dari isi UU tersebut dibuktikan oleh lembaga yang berwenang telah melanggar/bertentangan dengan UUD maka, sebenarnya sebagai konsekwensi wajar dari pihak-pihak yang terlibat dalam pengesahan dan pengundangannya akan timbul persoalan tuntutan pertanggunjawaban terhadap para pihak yang terlibat dimaksud diatas.
– Yang menjadi pertanyaan penting adalah tuntutan pertanggunjawaban apa yang dapat dibebankan kepada para pelaku dimaksud diatas dalam hal ini DPRRI dan Presiden ?
– Kemudian yang menjadi catatan penting adalah setiap peristiwa dikabulkannya permohonan pembatalan UU oleh MK dengan tidak pernah ada tinisiatif dari lembaga Negara yang berkompeten. Untuk melakukan penuntutan pertanggungjawaban dari para pelaku yang terlibat…
dilihat dari masing-masing kedudukan para pelaku yang terlibat tersebut diatas, DPRRI adalah lembaga Legislativ yang berisi para anggota DPR RI dan Presiden adalah dalam Lembaga Eksekutif. Untuk dapat menjabat sebagai pejabat atau penyelenggara Negara maka baik Bagi para anggota DPR RI maupun Presiden wajib mengangkat sumpah-janji. Sumpah/janji jabatan Anggota DPRRI diatur dalam Pasal 10 Tatib DPR dan Sumpah Presiden – Wakil Presiden diatur dalam Pasal 9 UUDRI.
Bunyi Sumpah Anggota DPRRI :
“ Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;..”
Bunyi Sumpah Presiden :
“ Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknja dan seadil-adilnja, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya ”
Melihat isi dan semangat yang diwajibkan dalam kedua sumpah tersebut maka jelas baik DPR dan Presiden wajib berpedoman atau memegang teguh pancasila dan UUD sehingga perbuatan/ tindakannya tidak boleh melanggar UUDRI.
Dalam hal adanya keputusan MK yang membatalkan UU dengan pertimbangan hukumnya yang menyatakan bahwa telah terbukti melanggar UUDRI, maka terbukti pula DPR RI dan Presiden telah melakukan pelanggaran terhadap sebagaian atau seluruh dari yang tersebut dalam UUDRI. Keputusan MK yang mengabulkan permohonan tentang pengujuan pembatalan UU yang bertentangan terhadap UUDRI merupakan bukti nyata yang tak terelakan bahwa DPR RI dan Presiden telah melakukan pelanggaran sumpah dan janji tersebut diatas.
Kemudian juga yang menjadi catatan penting adalah setiap peristiwa dikabulkannya permohonan pembatalan UU oleh MK dengan tidak pernah ada tinisiatif dari lembaga Negara yang berkompeten. Untuk melakukan penuntutan pertanggungjawaban dari para pelaku yang terlibat…
Untuk menjawab pertanyaan yang tersurat dan tersirat dalam tulisan singkat ini, kita wajib merenungkan secara bersama guna dapat mendorong lembaga yang berkompeten agar sudi kiranya meminta/menuntut pertanggungjawaban secara politis – yuridis demi terwujudnya Negara RI – yang azas Equality befor the law dan Supremacy of law
( Marihot Siahaan – Pengacara – Praktisi Hukum)