Ardi Winangun : Setelah melalui proses perjuangan yang panjang dari para anggota DPR serta ditambah dengan desakan dari para kepala desa, akhirnya para wakil rakyat lewat sidang paripurna pada 18 Desember 2013 mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tentang Desa menjadi Undang-Undang Tentang Desa. Pengesahan rancangan itu tentu menjadi sebuah kebanggaan bagi DPR, selain mengabulkan tuntutan para kepala desa juga di akhir tahun ini anggota DPR mampu menyelesaikan salah satu tugasnya yakni legislasi. Dengan disahkan undang-undang itu maka beban rancangan undang-undang yang harus diselesaikan menjadi berkurang.
Banyak aturan dalam undang-undang itu mengatur soal desa yang sebelumnya tidak ada. Inti undang-undang itu adalah modernisasi di desa. Modernisasi seperti ada gaji, tunjangan kesehatan, dan tunjangan lainnya yang diberikan kepada kepala desa.
Selama ini kepala desa mengandalkan upah bulanan dari bengkok sawah atau penghasilan halal desa lainnya. Selain itu dengan adanya undang-undang ini pemerintah pusat harus menggelontor uang hingga Rp1 miliar selama setahun untuk kepentingan pembangunan desa. Dalam undang-undang itu juga mengamanatkan pengelolaan badan usaha milik desa (BMUD). Badan yang demikian dulu hanya sampai pada tinggkat kabupaten/kota maka sekarang bisa didirikan di desa. Dengan demikian, bila undang-undang itu dijalankan maka akan terjadi perkembangan yang cepat dan melesat di desa. Kapitalisasi akan muncul dari desa.
Selama ini pembangunan hanya berada di tangan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Bila mereka peka dengan masalah yang terjadi di masyarakat (baca desa) maka problem di desa bisa segera diatasi. Masalahnya banyak bupati kurang peka dengan masalah di bawah sehingga anggaran daerah yang ada tidak merembes ke desa. Akibatnya, pembangunan desa selama ini tertinggal. Hal demikian membuat terjadi kemiskinan dan kesenjangan sosial dan berdampak banyak penduduk desa merantau ke kota atau keluar negeri. Urbanisasi yang terjadi ini akhirnya membuat pemerintah tambah pusingnya. Dengan undang-undang itulah diharapkan hal demikian bisa diatasi.
Menjadi persoalan ketika modernisasi dan kapitalisasi desa dilaksanakan sudah siapkah masyarakat desa dengan aturan baru itu? Harus kita akui untuk menjalankan modernisasi dan kapitalisasi desa diperlukan keahlian dan ketrampilan dari kepala desa dan perangkat desa lainnya. Keahlian itu berupa bagaimana mereka bisa merancang pembangunan, mengelola transaksi keuangan, dan mengurus badan usaha milik desa. Dalam merancang pembangunan desa tentu harus dilakukan dengan cermat dan tidak bisa secara gegabah. Bila dilakukan secara gegabah maka arah yang dituju bisa membelok ke arah yang lain. Sehingga tujuan pembangunan masyarakat desa yang toto tentrem kertho rahardjo, murah tanpa tinuku, lan tukul tanpo tinandur tak akan tercapai.
Untuk bisa merancang pembangunan desa diperlukan seorang kepala dan perangkat desa lainnya yang bisa menyerap aspirasi kebutuhan masyarakat dan memprediksi masa depan desa. Namun seperti dalam pemilihan kepala daerah, kepala desa dipilih biasanya berdasarkan popularitas, banyak uang, dan sebatas tokoh. Sedang kemampuan mungkin hanya menjadi nomer dua. Dari sinilah maka problem di kabupaten bisa terjadi di desa di mana pembangunan tidak merata atau pembangunan hanya untuk kelompok tertentu.
Bila selama ini antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sering lempar tanggung jawab soal pembangunan yang tak terurus, misalnya jalan rusak, gedung sekolah roboh, jembatan ambruk, maka rantai lempar tanggung jawab nanti akan bertambah panjang hingga ke kepala desa. Bila demikian maka dari adanya undang-undang itu yang diharapkan pembangunan menjadi lebih merata yang terjadi malah keruwetan dalam soal siapa yang berhak bertanggungjawab dalam pembangunan. Misalnya, bila di desa daerah perbatasan dengan negara lain, siapa yang akan bertanggungjawab? Apakah kepala desa, bupati, gubernur, atau presiden? Pastinya bila ada masalah di batas negeri itu maka masing-masing akan berkilah. Pemerintah pusat akan mengatakan, “Kan sudah diberi anggaran.” Pemerintah di bawah pun akan membalas dengan berujar, “Itu kan urusan pusat.”
Tak hanya masalah sumber daya atau keahlian yang sepertinya belum siap, masalah gelontoran uang yang melimpah di desa pun juga akan mengundang banyak orang untuk melakukan tindak korupsi. Selama ini mungkin kepala desa tidak mempunyai uang untuk melaksanakan pembangunan desa. Begitu ada segebok uang dari APBN dan APBD di depan mata, mereka bisa melakukan keinginan untuk mengubah wajah lingkungannya namun kepala desa juga manusia sehingga dirinya juga bisa melakukan tindakan melanggar hukum. Tindakan melanggar hukum itu dilakukan bisa jadi untuk memperkaya diri atau untuk mengembalikan modal dalam pemilihan kepada desa (Pilkades).
Perlu kita ketahui bahwa Pilkades juga memerlukan modal seperti Pileg, Pilkada, dan Pilpres. Nilai untuk memenangkan Pilkada jangan dibilang murah. Anggaran kepala desa bisa hingga Rp1 miliar. Bila biaya yang dikeluarkan sudah demikian banyaknya maka dari sinilah pintu bagi kepala desa terpilih untuk melakukan tindak korupsi. Kita tidak berpikir jelek kepada kepala desa namun belajar dari pengalaman beragam pemilu mulai dari wakil rakyat, kepala daerah, dan presiden semua membutuhkan uang. Dan begitu ada anggaran pemerintah yang dikelola oleh mereka maka tindak pelanggaran hukum kerap terjadi. Bila banyak wakil rakyat dan kepala daerah kecokok KPK atau Kejaksaan Negeri dan Tinggi maka kepala desa sepertinya akan mengalami hal yang sama jika mereka melakukan korupsi.
Kesimpulannya, kita harus menyambut baik dengan hadirnya Undang-Undang Tentang Desa. Namun sambil menunggu pemberlakukan undang-undang itu pada tahun anggaran 2015 maka pemerintah harus mempersiapkan sumber daya dan mental orang-orang desa agar mereka tidak mengulang ‘kesalahan’ pemerintah kabupaten, kota, provinsi, dan pusat dalam mengelola uang.
Ardi Winangun Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu