B. P. H. TAMBUNAN : Pemerintah pasca Pemilihan Umum (Pemilu) / Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 mendatang, harus siap mengebut pengelolaan beberapa pekerjaan besar, yang telah menunggunya. Pekerjaan besar, yang semestinya telah rampung dikreasikan rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 3 – 4 tahun yang lalu.

Salah satu dari pekerjaan besar itu adalah membangun kedaulatan dan atau ketahanan pangan nasional. Kecuali itu, juga mengembangkan suatu tatanan sosial dan politik yang sangat kondusif. Sehingga terbuka kesempatan membangun, atau bahkan kian memperkuat daya saing anak bangsa dan NKRI. Untuk menghadapi persaingan di tingkat regional, dan internasional, tentu saja.

Telah ternyata, hingga sejauh dewasa ini, tensi, dan tren persaingan terkait perdagangan multinasional di tingkat regional, dan internasional,  terus kian mendetil. Dari waktu ke waktu malah makin membengis. Negara-negara maju atau Dunia pertama, dan Dunia kedua, yang memiliki daya saing lebih prima, telah bersiap memangsa setiap  negara berkembang atau Dunia ketiga, dan negara-negara terbelakang atau  Dunia keempat, yang gagal membenahi sekaligus memperbaiki kualitas daya saingnya.

Jika cermat menyimak, pasti akan bisa melihat betapa secara terselubung dan perlahan pemangsaan bengis terhadap negara-negara Dunia ketiga dan Dunia keempat itu telah kerap mengasus. Namum, karena memang tak memiliki daya saing sebagai bargaining position, negara-negara Dunia ketiga, dan Dunia keempat tak bisa berbuat banyak, selain mesti menundukkan diri di bawah dikte negara-negara Dunia pertama dan Dunia kedua.

Rezim pemerintah era reformasi yang kebablasan dan yang selama kurun waktu 10 tahun berkuasa dengan menerapkan sistem politik neoliberalis –  neokapitalis di segala bidang, senyatanya cuma akan bisa  mewariskan berbagai kasus korupsi yang belum terungkap. Atau, belum terselesaikan secara hukum. Terlebih lagi, penderitaan bagi rakyat. Pada tingkat “akar rumput”, nestapa penderitaan rakyat dewasa ini nampak sudah begitu amat parah.

KENAPA KETAHANAN PANGAN ?

BERBAGAI negara menyadari, betapa  kedaulatan dan atau ketahanan pangan nasionalnya, merupakan masalah yang paling perlu, dan harus ditanggulangi. Guna mewujudkan sasaran inti yang dikejar, pengorganisasian,  perencanaan, dan pelaksanaan upaya penanggulangan itu harus benar-benar simultans, namun terpadu. Kerap pula, dalam membangun kedaulatan dan atau ketahanan pangan nasionalnya, suatu negara bahkan tak segan-segan mengabaikan, melabrak atau melawan,  ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam kerjasama perdagangan skala internasional. Seperti yang telah  didemonstrasikan India dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IX Kerjsama Perdagangan Dunia / World Trade Organization (WTO) di Nusadua, Bali, baru-baru ini. KTM IX WTO di Bali, tersebut, seyogianya hendak menetapkan kesepakatan final seputar pengaturan stok kebutuhan ketahanan pangan nasional tiap negara anggota WTO.

Dalam upaya menjamin kedaulatan dan atau ketahanan pangan nasionalnya, negara jiran terdekat, Malaysia, yang berpenduduk lebih sedikit, terbukti lebih siap. Sudah sejak beberapa waktu lalu, Malaysia menetapkan sebanyak 27 jenis pangan strategis. Untuk memantapkan upaya itu, Malaysia pun telah mensyahkan dan atau memberlakukan 2 perangkat undang undang untuk  memayungi 27 jenis pangan strategis tersebut. Lebih dari itu, kontrol suplai dan harga pun dijalankan secara tegas dan konsisten. Begitu pula dengan Thailand, bahkan Vietnam. Di pihak lain, Philipina, dan Kamboja diketahui sedang menyusun ketetapan jenis pangan strategis nasionalnya masing-masing.

Akan halnya NKRI yang berpenduduk lebih besar ketimbang Malaysia, Thailand, Vietnam, Philipina, dan Kamboja, yakni sebanyak 250 juta, hingga kini masih belum juga  menetapkan jenis pangan strategis. Terkait dengan itu, NKRI belum pula mempunyai undang undang yang mengemas strategi jangka panjang untuk menjalankan, dan menjamin terlaksananya kedaulatan dan atau ketahanan pangan nasional. Itu berarti, rezim pemerintah yang masih berkuasa kini, seolah-olah sengaja pasrah menyerahkan batang leher rakyat di bumi Garuda ini, untuk nanti semena-mena digorok negara-negara pemasok beragam produk bahan pangan yang dibutuhkan NKRI.

Harus digaris bawahi, globalisasi dan keterbukaan pasar setiap negara terhadap arus ekspor dari berbagai negara lain, sebagai dituntut WTO tak mungkin terelakkan lagi. Di NKRI sendiri, dampak keterbukaan pasar justru telah merasuk sampai ke tingkat kecamatan. Bahkan, hingga ke tingkat kelurahan. Situasi yang amat sangat  memprihatinkan itu ditandai dengan kian membanjirnya bermacam produk impor mengisi pasar-pasar di tingkat kecamatan dan kelurahan. Jangan tanya lagi di ibukota-ibukota tingkat provinsi, atau kabupaten, dan kota. Soalnya, segala jenis produk impor telah lama  meramaikan, bahkan merajai pasar-pasar tradisional, dan kaki-lima.

MAKIN TERSINGKIR

KEBERHASILAN berbagai jenis produk impor meramaikan, atau merajai pasar-pasar tradisional di level kelurahan, kecamatan, kabupaten, hingga kaki-lima di ibukota-ibukota provinsi, justru tidak terlepas dari kebijakan tarif bea impor (bea masuk / BM) yang sangat rendah. Menurut data yang dilansir “The Economist” pada 2012, tarif BM tertinggi diberlakukan India, yakni rata-rata 35.2%, diikuti Jepang 34.0%, Vietnam 24.9%, Thailand 24.2%, dan RR-China 17.4%, sedangkan NKRI cuma 4.3%.

Kebijakan tarif BM rendah tersebut, juga diterapkan NKRI terhadap sejumlah produk pangan, yang lewat WTO sebetulnya sudah didaftarkan sebagai produk pangan yang sedang dilindungi. Tarif BM beras, misalnya, antara 9-160%, tapi melalui perjanjian perdagangan bebas / free trade agreement (FTA) ditetapkan hanya 30%, tarif BM gula yang terdaftar 40-95% juga hanya dikenakan 30%, tarif BM susu yang terdaftar 40-120% cuma dikenakan 5%, sedang tarif BM jagung dan kacang kedelai yang masing-masing didaftarkan 9-40 % dan 30-40% justru hanya dikenakan 0% alias bebas tarif BM.

Kebijakan tarif BM yang rendah itu, sejauh yang ternyata juga dewasa ini telah memicu dampak negatif.  Bukan saja beragam produk barang dan pangan kian merajalela berkuasa di pasar-pasar di seluruh bumi Garuda. Tapi, yang paling menyakitkan hati rakyat, akibat terpukul segala produk impor,  justru telah menyebabkan produk-produk lokal yang dihasilkan rakyat tersingkir. Buktinya, beras, jagung, gula, kedelai, susu, daging sapi, termasuk induk ayam, telur ayam, dan garam produksi lokal makin sulit ditemukan di pasar-pasar tradisional. Dengan perkataan lain, ketergantungan rakyat pada produk pangan impor makin mutlak. Sekedar ilustrasi, bisa disimak ketergantungan rakyat pada kedelai 72%, susu 71%, garam 50%, gula 32%, daging sapi 30%. Celakanya, begitu harga meningkat, cadangan devisa lantas terkuras membayar harga impor.

Ketergantungan pada kedelai hingga 72% itu,  bahkan telah kerap membuat pengusaha tahu dan tempe menjadi klimpungan. Kecuali sulit didapatkan, harga kedelai pun melambung tinggi. Kondisi itu memaksa pengusaha tahu dan tempe harus memperkecil ukuran produksinya. Sekaligus menaikkan harga jual tahu dan tempe. Jadilah produk tahu dan tempe, akhir-akhir ini merupakan sajian pangan mewah. Tidak lagi banyak rakyat di desa-desa yang mampu mengomsumsi tahu dan tempe. Padahal, produk tahu dan tempe  merupakan kebutuhan utama pangan tradisional rakyat sejak berabad silam. Itu berkat produksi kedelai yang setiap tahun melimpah ruah, sehingga bisa juga diekspor.

Begitu pula dengan ketergantungan rakyat pada garam 50%, sungguh ironis. Tentu, jika diingat pulau Madura pernah menjadi garda produsen garam yang mampu memenuhi kebutuhan garam nasional. Ditambah produksi garam rakyat dari wilayah-wilayah pesisir lainnya di bumi Garuda ini, NKRI pun pernah tampil sebagai salah satu negara pengekspor garam.

MELARAT DI NEGERI KAYA RAYA

BANGSA dan NKRI, bukan suatu bangsa dan negara yang cengeng. Melainkan, bangsa dan negara yang siap berjuang. Globalisasi, dan ketatnya persaingan di tengah kinerja FTA, seperti pelaksanaan  perjanjian perdagangan bebas Asean / Asean free trade agreement (AFTA), dan lain-lain yang sejenisnya, memang, tak mungkin terhindarkan. Karena itu, meski bengis, amat tidak bermartabat jika bangsa dan NKRI menuding tren dan sistem perdagangan multilateral itu sebagai suatu tatanan ekonomi yang mutlak negatif.

Betul, seperti telah disinggung di atas tadi, merajalelanya berbagai produk impor, termasuk produk pangan di pasar-pasar di bumi Garuda, telah membuat rakyat di tingkat akar rumput melarat di negeri sendiri, yang justru kaya raya sumberdaya ekonomi. Para petani, dan nelayan yang termarjinalkan dalam persaingan, dari segala desa yang memang merupakan kantong-kantong kemiskinan dan terbatasnya pendidikan, berlomba mengurban ke kota-kota. Di kota-kota  rakyat urban itu pun cuma bisa sekadar bertahan hidup dengan menjadi semacam pekerja “rodi” pada era Verenighde Oost-indie Companie (VOC), atau “romusha” sewaktu pedudukan militerisme Jepang, dalam institusi-institusi usaha penanaman modal asing (PMA), dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), serta di sektor-sektor non-formal.

Terlalu jauhnya rezim pemerintah,  membawa NKRI memasuki pusaran neoliberalis dan neokapitalis, merupakan langkah-langkah yang sangat, sangat layak dipersalahkan, dan disesalkan. Langkah-langkah yang sudah dimulai rezim pemerintah orde baru, dan kian dipertajam lagi oleh rezim pemerintah yang berkuasa  selama kurun hampir 10 tahun ini, telah membuat tujuan bangsa yang diamanatkan lewat Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 produk 18 Agustus 1945 semakin sulit diwujudkan.

Padahal, jika rezim pemerintah produk era reformasi ini, sungguh-sungguh bekerja memprioritaskan kepentingan nasional, dan atau terobsesi bekerja membangun untuk kesejahteraan seluruh lapisan rakyat, tidak terlalu rumit. Tentu saja, kalau rezim pemerintah tidak semena-mena meremehkan UUD 1945, khususnya Pasal 23, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34, yang dari sejak semula, memang, dirancang untuk menjadi pedoman kebijakan ekonomi nasional. Pedoman kebijakan ekonomi nasional itu lebih fokus lagi diurai pada UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1, 2 dan 3.

Yang juga patut dipersoalkan, sikap rezim pemerintah sekarang ini  tampak kurang sigap dan cekatan mengambil langkah-langkah konstruktif antisipatif, dalam  menghadapi arus globalisasi, dan gerakan liberalisasi vide FTA yang mulai didorong negara-negara Dunia pertama dan Dunia kedua sekitar 20 tahun lalu itu.

Dibandingkan dengan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang cenderung diperuntukkan  menyenangkan kalangan berpunya, berbagai langkah antisipatif dan konstruktif yang seyogianya secara tegas dan konsisten telah dilakukan rezim pemerintah yang berkuasa selama ini, pada galibnya tidak terlalu membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Antara lain-lain, berupa peningkatan alokasi subsidi terhadap sektor pertanian kebutuhan stok pangan, termasuk pencetakan areal persawahan baru. Juga, perbaikan sistem distribusi produk pertanian umumnya, dan produk pangan khususnya. Perbaikan infrastruktur, dan  sistem distribusi produk pertanian dan produk pangan itu perlu, bahkan harus terus menerus digiatkan, mengingat posisi geografis NKRI sebagai negara kepulauan.

Serentak dengan langkah-langkah tersebut, tarif BM berbagai produk pangan impor harus dipatok lebih tinggi lagi. Setidaknya, seperti yang diterapkan India, atau Jepang. Dan, yang tak kalah serius, menetapkan Jenis-jenis produk pangan strategis yang dilindungi NKRI.

Sebagai payung hukum, sekaligus guna menjadi acuan kebijakan konprehensif dalam memobilisasi pembangunan kedaulatan dan atau ketahanan pangan nasional, semestinya pemerintah sudah menyiapkan undang-undang terkait yang bersumber dari UUD 1945 per 18 Agustus 1945.

TANTANGAN BERAT

SUDAH harus tercapainya solusi permanen terkait masalah kedaulatan dan atau ketahanan pangan setiap negara anggota WTO dalam kurun 4 tahun ke depan, tepatnya pada KTM XI WTO tahun 2017, adalah kesepakatan yang “berhasil” diambil lewat KTM IX WTO di Bali,  belum lama ini.

Sejalan dengan kesepakatan KTM IX WTO di Bali itu, seperti negara-negara  Dunia ketiga, dan Dunia keempat lainnya, setelah masa tenggang waktu 4 tahun mendatang NKRi juga hanya boleh memberikan subsidi 10% dari total produksi pangan nasional, terhadap kebutuhan stok kedaulatan dan atau ketahanan pangan nasional. Sementara acuan harga yang dijalankan adalah harga yang berlaku pada 1986–1988.

Waktu untuk membereskan segala sesuatunya terkait pembangunan kedaulatan dan atau ketahanan pangan nasional, memang, begitu sempit. Namun, WTO yang merupakan institusi internasional untuk menyangga sistem neoliberalis dan neokapitalis dunia itu, pasti akan menolak segala dalilh yang mungkin dikedepankan atas kegagalan memenuhi deadline tersebut.

Berkenaan dengan itu, suka atau tidak suka Presiden NKRI produk Pilpres 2014 mendatang, agaknya harus mengisi struktur pemerintahannya dengan figur-figur yang berintegritas tinggi,  berwawasan kebangsaan seperti diinginkan Pancasila dan UUD 1945, memiliki visi dan misi yang jelas berpihak pada rakyat luas. Perlu diingat  sekitar 125 juta jiwa dari 250 juta penduduk NKRI menggantungkan hidupnya  pada sektor pertanian. Termasuk subsektor perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan / nelayan. Kecuali itu, juga harus segera berkebut dengan waktu, untuk membereskan semua permasalahan yang menyebabkan bangkrutnya ekspor nonmigas, khususnya bermacam produk pertanian dan produk pertanian pangan, selama satu dekade terakhir ini.

Memang, tak mudah. Tapi tantangan berat itu harus dikerjakan, jika bangsa dan NKRI tidak ingin kian terpasung dalam kebengisan kompetisi ketat yang diciptakan negara-negara Dunia pertama, dan Dunia kedua. ***

Penulis : BPH Tambunan salah satu pengurus DPP Anindo