Jakarta, NU Online Wakil Presiden Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) Sukitman Sudjatmiko mengungkapkan bahwa proses pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU dikerjakan sangat tidak transparan.
Salah satu yang menjadi problem adalah pasal 59 tentang tenaga kerja kontrak yang tidak dimuat di dalam draf UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR dan Pemerintah dalam rapat paripurna di Senayan, pada Senin (5/10) kemarin.
Pasal yang semula disepakati di dalam Tim Tripartit, yang memuat aturan secara rinci soal batas waktu pembaruan tenaga kerja kontrak itu dihilangkan. Soal ketentuan detail jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja justru akan diatur dengan kebijakan turunan melalui peraturan pemerintah.
“Ini yang kita sayangkan. Pasal (59) ini tidak dimasukkan oleh pemerintah menjadi salah satu pembaruan ke DPR. Padahal ini sudah kesepakatan,” katanya saat dihubungi NU Online melalui sambungan telepon, pada Selasa (6/10) pagi.
Pasal bermasalah tentang ketenagakerjaan lainnya juga terdapat dalam pasal 77A. Pasal ini memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur untuk sektor tertentu.
Pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2. UU Cipta Kerja justru menghapuskan batas waktu maksimal untuk pekerja kontrak, serta aturan yang mewajibkan sistem pengangkatan otomatis dari pekerja kontrak sementara ke status pegawai tetap.
Ketentuan dalam pasal 77A ini akan memberikan hak kuasa pada pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak dalam jangka waktu tak terbatas. Kemudian pasal 88D juga bermasalah. Tingkat inflasi tidak menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum.
Penghapusan inflasi dan biaya hidup sebagai kriteria penetapan upah minimum akan melemahkan standar upah minimum di provinsi dengan pertumbuhan ekonomi mendekati nol atau negatif, seperti di Papua.
Sementara menurut Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia ketentuan tersebut secara otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum. Konsekuensinya adalah banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya hidup harian.
Dengan demikian, standar hidup yang layak akan terdampak. Situasi yang seperti itu justru bertentangan dengan standar Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Di samping itu, Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan dihapus. Pasal ini sebenarnya memuat tentang kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan.
UU Cipta Kerja juga telah mengubah ketentuan cuti yang termuat dalam pasal 93 ayat 2 UU Ketenagakerjaan. Di dalam ayat 2 huruf a, cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan sudah ditiadakan.
Tak hanya itu, cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anak, istri melahirkan atau keguguran kandungan, hingga apabila ada anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia, sebagaimana yang tertuang dalam huruf b juga telah dihapus.
Ketentuan lain yang dihapus adalah cuti untuk menjalankan kewajiban terhadap negara (terdapat di huruf c), menjalankan ibadah sesuai perintah agama (huruf d), melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha (huruf g), dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (huruf h).
Pasal bermasalah mengenai lingkungan hidup Pertama, pasal 88. Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) bisa menjerat pelaku pembakar hutan dan lahan.
Namun, Pemerintah dan DPR justru menghapus aturan ini. Berikut bunyi pasal 88 UU PPLH,
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Kini, pemerintah telah menghapus ketentuan di kalimat terakhir. Dengan demikian bunyi pasal 88 adalah:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.
” Kemudian pasal 93 dihapus. Padahal, di dalamnya memuat tentang partisipasi publik. Di dalam ayat 1, pasal ini menyatakan bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara.
Namun, kini pada UU Cipta Kerja telah dihapus. Pasal bermasalah tentang Pers UU Cipta Kerja juga berpotensi mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi para praktisi media. Sebab akan terjadi perubahan isi dari Pasal 11 UU Pers.
Sebelumnya, berbunyi bahwa penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Kini diubah menjadi pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
Pengubahan itu berpotensi membuat pemerintah kembali mengatur pers seperti sebelum UU Pers pada tahun 1999 yang dirancang oleh insan pers yang menjadi pedoman hingga kini. Selain itu, perubahan terjadi pada pasal 18 UU Pers.
Di poin pertama berbunyi bahwa setiap orang yang secara sengaja melawan hukum dengan melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda Rp500 juta.
Bunyi poin itu berubah menjadi, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar.”
Poin kedua, perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat 1 dan 2, serta pasal 13 dipidana paling banyak Rp500 juta. Kini berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 5 ayat 1 dan 2 serta pasal 13 dipidana dengan denda paling banyak Rp2 miliar. Di poin ketiga, perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 9 ayat 2 dan pasal 12 dipidana dengan denda paling banyak Rp100 juta dan kini berubah menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 9 ayat 2 dan pasal 12 dikenai sanksi administratif. Sementara di poin keempat dimuat soal ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat ketiga diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal bermasalah tentang pendidikan Pertama, pasal 51 ayat 1. Pengelolaan satuan pendidikan formal dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
Kedua, pasal 62 ayat 1 yang memuat soal syarat untuk memperoleh Perizinan Berusaha meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, saran dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
Ketiga, pasal 71. Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 ayat 1 dipidana dengan penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.
UU Cipta Kerja tentang pendidikan ini dinilai bertentangan dengan UU Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren yang sama sekali tidak mencantumkan sanksi pidana, melainkan pembinaan dan sanksi administratif. Pewarta: Aru Lego Triono Editor: Muhammad Faizin TAGS: cipta kerja buruh
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/123678/ini-sejumlah-pasal-bermasalah-dalam-uu-cipta-kerja
FOTO : Sumber detik.com