Solopos.com, SOLO — Pesta demokrasi pemilihan kepala desa (pilkades) tahun 2019 akan diselenggarakan di sejumlah daerah di Indonesia. Di Jawa Tengah ada beberapa kabupaten yang menyelenggarakan pilkades langsung dan serentak.

Sebanyak 343 desa mengikuti pilkades di Kabupaten Purworejo, 271 desa di Kabupaten Klaten, 145 desa di Kabupaten Karanganyar, dan 167 desa di Kabupaten Sragen. Pilkades tersebut ada yang diselenggarakan sebelum dan setelah pemilihan umum 2019.

Pembiayaan pilkades langsung dan serentak bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa untuk kebutuhan pelaksanaan pemungutan suara.

Pilkades dalam perjalanan sejarah Indonesia ada sejak masa kolonialisme. Dalam penelitian Maschab,  pada masa penjajahan Belanda pilkades di Pulau Jawa pernah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat secara terbatas hanya pada kelompok elite desa maupun keturunan kepala desa sebelumnya.

Lain halnya pada masa penjajahan Jepang. Saat itu pilkades diselenggarakan secara langsung yang diwakili seorang kepala keluarga dari setiap keluarga. Sedangkan paad era Indonesia merdeka, khususnya sekarang, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Desa (UU Desa).

Regulasi lainnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Berdasar regulasi ini pilkades dilaksanakan secara langsung dan serentak oleh rakyat.

Dalam UU Desa ditentukan kepala desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Dalam UU tersebut juga ditentukan masa jabatan kepala desa selama enam tahun dan dapat dipilih selama tiga periode secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.

Jabatan Strategis

Sejak UU Desa diterbitkan jabatan kepala desa dinilai sebagai jabatan strategis dan berperan besar bagi bangsa dan negara. Kita dapat membandingkan jabatan kepala desa dengan masa jabatan enam tahun dan bisa dipilih tiga kali berturut-turut dengan masa jabatan presiden yang dibatasi lima tahun dan hanya dapat dipilih dua kali.

Di samping masa jabatan kepala desa yang lebih panjang daripada jabatan presiden atau kepala daerah, UU Desa saat ini juga mengamanahkan dana desa bersumber dari APBN dan alokasi dana desa dari dana perimbangan kabupaten/kota yang akan disalurkan langsung kepada desa untuk percepatan pembangunan.

Bagi desa yang berpotensi dalam pembangunan wilayah industri (pabrik/perusahaan), perumahan, dan tempat perbelanjaan (mal) tentu tidak ada dana-dana tanggung jawab sosial perusahaan yang mengalir kepada desa.

Jabatan kepala desa menjadi jabatan strategis dalam pengelolaan keuangan yang melimpah tersebut, tentu dana-dana itu untuk membangun desa. Tidak bisa dimungkiri ada beberapa kepala desa yang “main korupsi” pada pengelolaan dana desa untuk kepentingan pribadi dalam rangka mengembalikan modal besar yang dikeluarkan dalam pertarungan di pilkades.

Mekanisme pilkades dengan pemilihan secara langsung pada umumnya akan menciptakan persaingan yang ketat di antara para calon kepala desa, memunculkan sensitivitas tinggi antarpendukung, dan tidak jarang berpotensi besar menimbulkan konflik.

Cara Pragmatis

Persaingan politik uang di antara para calon kepala desa tidak bisa dihindarkan karena inilah salah satu cara pragmatis supaya calon kepala desa memperoleh dukungan suara dari pemilih meskipun tidak semua pemilih akan memilih calon kepala desa dengan iming-iming uang.

Modal uang yang dikeluarkan untuk memenangi pertarungan pilkades terkadang tidak rasional dan tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima kepala desa saat menjabat. Penelitian yang pernah dilakukan M. Amanu menjelaskan ada calon kepala desa yang mengeluarkan modal untuk pilkades mencapai Rp750 juta.

Penghasilan kepala desa di beberapa daerah tidak lebih dari Rp5 juta per bulan, tergantung pada alokasi dana desa yang ditentukan oleh kepala daerah (bupati/wali kota).

Kita dapat menilai penghasilan kepala desa selama enam tahun menjabat tidak dapat mengembalikan modal politik uang ketika bertarung di pilkades.

Oleh karena itu, kesempatan kepala desa memainkan anggaran dana desa menjadi salah satu cara untuk mengembalikan modal besar yang dibelanjakan saat pilkades. Menurut Sumartini, politik uang adalah sebuah ”seni” untuk memperoleh kemenangan dalam memperebutkan kekuasaan.

Uang politik hanya sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Politik uang pada pilkades seolah-olah menjadi hal yang biasa, padahal penting untuk kita ketahui bahwa politik uang berbahaya dan mengancam integritas pilkades.

Dalam politik uang, seorang pemilih tidak memilih kandidat sesuai dengan kesadaran politik tetapi menggunakan kesadaran semu yang berasal dari sikap pragmatis, apatis, dan tekanan ekonomi.

Di Amerika Latin, massa yang dapat dipengaruhi politik uang cenderung pada kelompok masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke bawah. Politik uang itu dapat berupa pemberian uang tunai dan pemberian barang seperti bakan pokok, kaus, dan lain-lain.

Penegakan Hukum

Ada beberapa cara mencegah politik uang yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat. Memakai teori sistem hukum L. M. Friedman, ada beberapa elemen yang dapat dibangun, yaitu memperkuat struktur hukum pada aparatur penegak hukum, sosialisasi dan penegakan substansi/isi hukum, dan membangun budaya hukum antikorupsi kepada masyarakat pemilih dan para kandidat.

Pertama, pada struktur hukum perlu pembentukan lembaga pengawasan pilkades di bawah koordinasi camat, bupati/wali kota, dan penegak hukum yang dapat diatur peraturan bupati/wali kota.

Pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa masih terdapat kelemahan perihal pengawasan, khususnya untuk mencegah politik uang.

Kedua, masyarakat pemilih, panitia pemilihan, tim sukses, dan para calon kepala desa perlu bersama-sama membangun budaya hukum antikorupsi melalui pembuatan pakta integritas antikorupsi. Terdapat sanksi tegas apabila ada calon kepala desa melakukan kegiatan yang mengarah pada politik uang, misalnya langsung didiskualifikasi.

Ketiga, terkait substansi hukum, Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dijadikan sebagai alat hukum untuk memberantas politik uang dalam pilkades.

Dari semua cara itu, pendidikan dan kesadaran politiklah yang harus dibangun oleh masyarakat dan calon kepala desa di tengah pelaksanaan demokrasi langsung yang diamanahkan oleh UU Desa.

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu 13/2/2019). Esai ini karya Kukuh Tejomurti, dosen di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah kukuhfhuns@gmail.com.