Oleh Lutfiyanti Axmi Reza

Penerapan “Full Day School” kembali menjadi polemik, reaksi protes dari kalangan masyarakat mengenai program ini semakin mencuat, penerapannya dirasa belum sesuai dengan keadaan bangsa saat ini. Bagaimana pemerintah menanggapi hal ini?

Wacana full day school pertama kali digemborkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Professor Muhadjir Effendi, program ini mendapatkan reaksi yang beragam dari kalangan masyarakat. Dalam rangka membangun pendidikan Indonesia kearah yang lebih baik, tentunnya program ini mendapat sambutan positif, namun disisi lain pemerintah juga perlu memahami kondisi bangsa Indonesia saat ini, di mana tidak semua pihak dapat melaksanakan program tersebut. Semakin jauh kita menelisik, semakin sulit menemukan titik terang mengenai wacana ini. Melalui full day school, pemerintah berusaha meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Di lansir dari aceh.tribunnews.com, setidaknya hingga Juli 2017 terdapat  8000 sekolah menerapakan konsep ini secara sukarela. Dalam hal ini, akan ada delapan jam kegiatan belajar mengajar sehari dan dua hari libur sekolah.

Filsuf Amerika, John Dewey berargumen bahwa sesungguhnya “pendidikan itu bukan persiapan untuk hidup, tetapi pendidikan adalah hidup itu sendiri”. Dalam hidup kita bisa belajar banyak tentang bagaimana menghargai orang, mengahargai waktu, dan hal lain yang sangat membantu kita mengarungi kehidupan.

Polemik Full Day School

Bagi mereka yang disibukkan dengan kegitan bekerja di bidang formal, program ini tentunya menjadi sesuatu yang harus didukung, dengan adannya full day school, siswa diharapkan dapat memanfaatkan waktunnya sebaik mungkin untuk belajar dan juga sharing bersama kawan-kawan di sekolah, selain itu mereka dirasa dapat merencanakan liburan berkualitas bersama keluarga.

Mengingat tak semua orang tua siswa adalah pekerja formal tentunnya hal ini kembali  menjadi permasalahan, banyak anak-anak di pelosok Indonesia belum mendapatkan fdasilitas yang layak bahkan untuk sekolah, akses jalan, biaya pendidikan turut menjadi PR pemerintah jika program ini benar-benar dijalankan, bagaiman tidak, masih banyak keluarga di Indonesia yang mengharapkan penghasilan dari hasil kerja paruh waktu anaknnya, akses jalan yang sulit menuju sekolah juga menjadi penghambat, mereka harus menempuh perjalanan malam jika pembelajaran di sekolah benar-benar di akhiri petang, di sisi lain nasib guru-guru madrasah juga menjadi pertimbangan.

Tanggapan pemerintah

Presiden Jokowi membatalkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Kebijakan ini diambil sebab dikhawatirkan aka mengganggu proses belajar mengajar kedepannya, serta mematikan sekolah-sekolah keagamaan di sore hari.

Dilansir dari CNN Indonesia, peraturan presiden nantinnya disusun bersama Mendikbud Muhadjir, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, MUI, PBNU, dan PP Muhammadiyah. “Presiden akan melakukan penataan ulang terhadap regulasi itu sehingga permen akan menjadi peraturan presiden,” ujar Ma’ruf di kantor presiden, Senin (19/6).

Hal ini tak sepenuhnya salah, jika dikonsep dengan baik, program ini dapat dikembangkan untuk masa depan pendidikan Indonesia, namun hal ini tentunnya harus melalui pertimbangan matang dari berbagai pihak, terutama pihak sekolah sebagai media siswa untuk melakukan aktivitas belajar mengajar. Pemerintah harus melihat kelebihan dan kekuranagn program ini dari berbagai pihak, kebutuhan siswa yang beragam, kondisi geografis, keadaan ekonomi juga  harus di sesuaikan.

Kebijakan ini tidak bisa dipaksakan, pemerintah juga harus memberikan kebebasan kepada  sekolah. Indonesia adalah Negara dengan berjuta keanekaragaman, bagaimanapun juga perlu melihat keadaan sekitar, dengan adannya keselarasan, maka kita dapat berjalan beriringan dengan nyaman tanpa takut adanya disintegrasi nasional.