Kudus – Malam / dini hari di bulan Ramadan merupakan kesunyian yang tinggi maknanya bila dimanfaatkan untuk berdzikir pada-Nya. Akan tetapi, dalam realitanya, di wilayah Pantura tertradisi rutinitas yang mengurangi kesunyian malam Ramadan karena mentradisikan bacaan yang tak memiliki sandaran ajaran hukum yang disebut bacaan tarkhim. Maksudnya, bacaan berbahasa Arab, di dalamnya mengajak umat untuk bersahur sejak pukul 03.00 hingga menjelang imsyak (batas akhir bersahur).

Persoalannya, menurut Moh Rosyid pegiat Komunitas Lintas Agama dan Kepercayaan Pantura (Tali Akrap) tradisi untuk dievaluasi karena, pertama, ajakan tersebut berbahasa Arab, sedangkan pembaca dan publik lazimnya tak mengetahui makna yang dibaca. Kedua, penggunaan pengeras suara yang memekakkan telinga karena banyaknya tempat ibadah yang berdekatan dan semua menggunakan pengeras suara serta terekspos secara luas, bukan pengeras suara ke dalam tempat ibadah saja.

Ketiga, nihilnya peran tokoh muslim untuk mengevaluasi bahwa pengeras suara sering dijadikan dalih syiar Ramadan, pemahaman yang naif. Esensi syiar bukan karena gemlegarnya suara pengeras suara, tapi meningkatnya kesadaran muslim melaksanakan ajaran agama. Bahkan terkesan kata syiar didakwahkan/dijadikan dalih beribadah. Keempat, bila diberi masukan karena hal tersebut, si penegur dianggap tak mencintai agama. Semua itu merupakan kenaifan yang menjauhkan pesan Islam yang rahmat terhadap alam sekitarnya, tapi terkesan lepas kendali. Sudah saatnya penggunaan pengeras suara dibatasi agar terwujud Ramadan yang damai, tandas dosen STAIN Kudus ini.