Kudus – Sebagian warga Desa Pakraman Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Bali Minggu 23/8/2015 melakukan upaya pencegahan pembangunan gedung yang diduga untuk tempat ibadah umat agama minoritas. Pencegahan dipimpin Bendesa Desa (pimpinan desa adat) Ngurah Gede Aryana. Dalih bendesa, umat yang dipimpin pendeta Tarigan itu tak memberi tahu pada Banjar Dinas atau Banjar Adat di Desa Adat Pakraman Bali. Dalam aturan desa (awig) bahwa pembangunan di wilayah desa adat harus membayar Rp 25 juta untuk desa adat.
Menyikapi hal ini, Moh.Rosyid, pegiat komunitas lintas agama dan kepercayaan pantura (Tali Akrap) dan pemerhati sejarah agama dari STAIN Kudus menyatakan bahwa hal serupa (yang dilakukan Pdt Tarigan) tidak faktor tunggal. Satu hal yang menarik untuk ditelaah, lanjut Rosyid, hal itu sebagai penegas bahwa Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Kepala Daerah dalam pendirian rumah ibadat untuk dievaluasi karena fasilitas beribadah umat beragama terhambat oleh birokrasi.
Khususnya pada Pasal 14 (2) yang intinya, mendirikan tempat ibadah harus ada umat beragama minimal 90 orang dan disetujui umat agama lain di wilayahnya minimal 60 orang yang disahkan oleh kepala desa, mendapat rekomendasi kankemenag kab/kota dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) kab/kota. Pasal 14 (2) tersebut terlaksana bila umat beragama mayoritas dan pemda mewujudkan toleransi sejati. Padahal Pasal 14 (3) bila persyaratan dalam Pasal 14 (2) tak terpenuhi, pemda wajib memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat. Pasal 14 (3) pun dalam realisasinya tak selalu terwujud bila pimpinan daerah bukan sosok pluralis.
Dengan demikian, perlu segera diwujudkan produk hukum yang mengayomi umat minoritas apa pun agamanya. Satu hal yang harus dikukuhi oleh pemimpin agama bahwa PBM tersebut Pasal 18 (1) pemanfaatan bangunan gedung yang bukan rumah ibadah diperuntukkan sebagai rumah ibadah sementara (tidak ada batasan waktu yang jelas) harus mendapat surat keterangan pemberian izin
sementara dari bupati/wali kota dengan syarat gedungnya laik fungsi dan memelihara kerukunan umat beragama dan ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Hemat Rosyid, pasal 18 ini bermakna pasal karet yang sangat rentan ditafsiri oleh umat agama mayoritas dan pemda yang tak pluralis untuk menolak pendirian tempat ibadah umat minoritas di tengah umat mayoritas. Bila demikian realitanya, kapan umat agama minoritas akan nyaman beribadah dan di mana peran negara mengayomi dan melindungi umat beragama (khususnya minoritas). Akan tetapi, wacana toleransi nyaring dalam teks yang dipidatokan penguasa dan pemberitaan media yang tidak menyuarakan aspirasi minoritas berdasarkan realitas.****