B. P. H. TAMBUNAN : DEWAN Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam suatu Rapat Paripurna belum lama berlalu, telah menyetujui Rancangan Undang Undang (RUU) Perdagangan untuk disyahkan menjadi Undang Undang (UU) Perdagangan. Dengan demikian, UU Perdagangan itu secara hukum sudah mulai berlaku dalam menata dan atau mengelola aktivitasi perdagangan nasional, atau bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tinggal menunggu Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan nomor saja lagi, agar UU Perdagangan baru itu berpenampilan sempurna sebagai suatu peraturan permanen.

Ketika ditunjuk untuk menggantikan Gita  Wiryawan yang mengundurkan diri dari Kemendag per 1 Pebruari 2014 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan Muhammad Lutfi telah lulus dari ‘fit and proper test’ atau uji kelayakan dan kepatutan guna memangku kekuasaan, dan sekaligus  menjalankan kebijakan terkait dengan perdagangan nasional. Ke pundak Mendag Muhammad Lutfi yang pernah memangku Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu lantas diletakkan tugas organisasional dan operasional antara lain ialah untuk  menstabilisasikan harga berbagai barang atau produk di pasar-pasar domestik, memulihkan dan meningkatkan ekspor nasional, aktif melakukan diplomasi effektif di tengah berbagai ajang kerjasama ekonomi dunia. Seperti Group – 20 (G-20), Association South East Asian Nation (ASEAN), Asia Pacifik Economic Cooperation (APEC), termasuk World Trade Organization (WTO). Untuk  menjaga, menyelamatkan, dan mempertahankan kepentingan ekonomi dan perdagangan nasional, tentu saja.

Berkenaan dengan itu pula, kehadiran Muhammd Lutfi yang mantan Duta Besar (Dubes) RI di Tokyo, Jepang, di Kemendag untuk waktu yang tidak sampai selama setahun ini, dunia perdagangan nasional diharapkan akan membawa Kemendag bergerak lebih dinamis lagi, bersemangat kerakyatan, seperti diperintahkan Pancasila dan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 produk 18 Agustus 1945. Tapi, bisa atau tidak Mendag Muhammad Lutfi memenuhi harapan itu, sebaiknya disimak saja dulu sepak terjangnya beberapa pekan ke depan ini. Sejarah mencatat, masuknya tokoh Muhammad Lutfi ke Kemendag hanya berselang sehari sebelum DPR RI menyetujui RUU Perdagangan untuk disyahkan menjadi UU Perdagangan baru bagi bangsa dan NKRI, mengganti perundang-undangan produk kolonialis Belanda yang berusia uzur, 80 tahun, dan sudah ‘out of date’ jika terus diterapkan bangsa dan NKRI seperti selama ini.

DIPLOMASI PERDAGANGAN

ADALAH kenyataan empiris, betapa sejak awal berkuasa lewat Kabinet Indonesia Bersatu I & II pada tahun 2004 hingga sampai menjelang berakhirnya periode ke-II sekarang, rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bisa dikatakan tidak begitu berhasil mencetak prestasi yang layak disaluti segenap rakyat. Terutama lagi rakyat pada tingkat akar rumput, dan termarjinalkan lainnya.

Dalam hal ini, berupa suatu kondisi positif dan konstruktif yang secara jelas dan gamblang memperlihatkan telah tercapai peningkatan, atau kemajuan ekonomi nasional. Dalam kreasi aktivitasi perdagangan domestik atau lokal, regional, dan internasional, terkait ekspor berbagai komoditas, atau produk nasional.

Di pasar regional, dan internasional, berbagai komoditas, atau produk nasional dari bumi Garuda nyaris terus menerus menghadapi tekanan-tekanan.    Bermacam tudingan negatif, sebagai dalih untuk menolak selalu dilemparkan    terhadap segala komoditas atau produk  ekspor nasional. Akibatnya,  banyak dari komoditas, atau produk ekspor nasional yang terpaksa harus menyingkir dari pasar regional, dan internasional.

Celakanya, situasi yang amat sangat merugikan rakyat dan dunia usaha atau dunia industri selaku produsen aneka komoditas dan produk tersebut, seperti diterima rezim pemerintah Presiden Susilo Yudhoyono nyaris pasrah begitu saja, tanpa  upaya atau perlawanan politik yang berarti. Bukan cuma untuk menyelamat “wajah” seluruh bangsa dan NKRI. Sekaligus juga guna menjaga kelangsungan akses dan eksistensi ekspor beragam komoditas atau produk produk nasional di pasar global. Rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang senyatanya lebih gemar beretorika, bahkan mencitrakan diri, cuma bereaktif dingin saja. Tim ekonominya, terlebih pada struktur Kabinet Indonesia Bersatu II selama periode kedua kurun 5 tahun sekarang, yang dipimpin Menteri Koordinator (Menko), Hatta Rajasa, tampak amat jelas kurang sigap dan tidak gencar melakukan diplomasi perdagangan.

Sinergisisasi kinerja antara Kemendag dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu), khususnya dalam hal kriteria keakhlian atau kecakapan spesialisasi untuk    penunjukan atau prnugasan Duta Besar (Dubes) cq Konsulat Jenderal (Konjen), dan atau Atase Perdagangan RI di berbagai negara strategis tujuan ekspor nasional, agaknya belum terbina secara optimal. Malah, urgensi eksistensi dan fungsi / misi semua Konjen atau Atase Perdagangan RI terkait upaya perluasan dan peningkatan volume ekspor segala komoditas atau produk nasional  terkesan diabaikan. Perlu disadari dan diingat, bahkan bila perlu diadopsi, bagaimana Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura yang merupakan negara-negara “macan Asia” itu dalam menetapkan pilihan figur yang akan menduduki pos Dubes, Konjen dan Atase Perdagangan di berbagai negara.  Kesuksesan perdagangan luar negeri ke-empat negara “macan Asia” itu di tengah percaturan ekonomi dan atau perdagangan global,  antara lain berkat peran aktif, dan sangat ofensif para Dubes, termasuk Konjen, hingga Atase Perdagangannya mencari importir bagi produk-produk industri domestiknya.

KEASYIKAN IMPOR

EKSES negatif tertekannya bermacam komoditas, atau produk ekspor nasional di pasar global, membuat sektor pertanian, termasuk sub-sektor perkebunan dan sub-sektor perikanan garda pengasil komoditas, atau produk pangan nasional serta merta terkulai, terpukul. Ironis, rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bukannya segera mewanti-wanti, dan memobilisasikan atau mengerahkan Menteri Pertanian(Mentan), Suswono, dan Mendag yang hingga akhir bulan Januari 2014 dijabat Gita Wiryawan. Baik sendiri-sendiri, mau pun bersama-sama, untuk mengorganisasikan sejumlah langkah terobosan kreatif, inovotatif dan konstruktif dalam menanggulangi  kebuntuan ekpor komunitas pangan di satu pihak, dan menurunnya energi serta semangat kerja para petani, pekebun, dan nelayan di pihak lainnya.  Jangankan guna memperbaiki kualitas produksi. Untuk berproduksi pun para petani, pekebun, dan nelayan, sudah tak lagi anthausias. Para buruh tani, termasuk buruh kebun, dan buruh nelayan mulai hengkang untuk hidup sebagai komunitas urban ke kota-kota provinsi, terlebih lagi ke Jakarta.

Ketidak anthausiasnya lagi para petani,  pekebun, dan nelayan menggeluti sektor pertanian, termasuk sub-sektor perkebunan, dan sub-sektor perikanan,    yang merupakan habitat kehidupannya, justru disebabkan kenyataan mulai terjebaknya NKRI ke dalam perangkap

Impor. Di pihak lain, karena alih fungsi lahan pertanian produktif juga semakin menggila. Data dari Kemtan menunjuk kondisi yang sangat mencemaskan. Diungkapkan, alih fungsi areal lahan pertanian produktif untuk keperluan pembangunan pabrik industri, perumahan, jalan tol atau infrastruktur lainnya, tercatat seluas 100.000 hektar per tahun. Sedangkan pembukaan lahan untuk areal baru persawahan tercatat hanya seluas 50.000 hektar per tahun. Itu, berarti setiap tahun areal persawahan terus menerus mengalami defisit seluas 50.000 hektar. Sekadar ilustrasi, areal lahan persawahan di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menduduki urutan ke-8 (delapan) terluas di NKRI, yakni 500.000 hektar. Namun, sepanjang kurun 8 atau 9 tahun terakhir, areal lahan persawahan itu kian merosot seluas 16.000 hektar dibabat alih fungsi.

Begitu pula dengan areal lahan kering, berupa perkebunan buah-buahan pangan, tak urung terus berkurang.

Berbagai statemen rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hendak mendorong sektor pertanian, termasuk sub-sektor perkebunan dan sub-sektor perikanan sebagai sentra produksi bahan pangan, yang masih tertinggal jauh, yang sering bangat diretorikakan secara luas, senyatanya cuma kebohongan-kebohongan publik belaka.

Suatu data emperis secara telanjang mengungkapkan, selama kurun 7 tahun dari tahun 2005 hingga 2012, volume impor beras, jagung, kentang, termasuk kubis, meroket sekitar 100% atau 10 kali lipat per tahun. Yang justru sangat mengejutkan, adalah kenaikan impor beras yang tercatat mencapai 150% tiap tahun. Belum lagi impor kedelai, tepung tapioka, cabai, bawang merah, bawang putih, garam, ikan, aneka jenis buah-buahan, yang di desa-desa di bumi Garuda ini terkadang terlihat  terbuang-buang seakan tidak bernilai jual. Coba saja, impor tepung tapioka menaik 8-9 kali lipat pada tahun-tahun itu. Idem dito impor buah-buahan, seperti anggur merah, blueberry, dan pisang, meningkat rata-rata sampai 6 kali lipat setiap tahun. Anehnya, dalam menjalankan kebijakan impor produk-produk pangan itu, Mendag Gita Wiryawan ketika itu seperti berkendara di jalan tol tanpa hambatan. Baru ketika tertangkapnya penyelundupan beras Vietnam sebanyak 16.900 ton lewat Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Belawan pada Januari 2014 lalu, Gita Wiryawan serta merta mengundurkan dari Kemendag.

Tidak cuma di situ. Dampak negatif lain dari kebijakan-kebijakan perdagangan  nasional bernafas dan bersemangat neo-liberalis yang nyata-nyata memang berpunggungan dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 rumuan 18 Agustus 1945, yang secara gigih diterapkan Mendag Gita Wiryawan waktu itu, pada gilirannya membuat defisit transaksi berjalan terus membengkak. Standard Chartered Bank di Jakarta menyebutkan defisit transaksi berjalan nasional pada tahun 2013 berkisar 3.2% dari produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut, menurut  Badan Pusat Statistik (BPS) memang merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Sebab, keasyikan impor,  defisit neraca perdagangan tahun 2013 mengalami lonjakan tinggi luar biasa: sekitar 150% dibandingkan dengan defisit neraca perdagangan tahun sebelumnya.

PEWARIS KEBIJAKAN IMPOR

DEFISIT neraca perdagangan yang melonjak sangat tinggi pada tahun 2013, yang diprediksi masih terus akan berlanjut hingga tahun 2014 ini, tidak pelak sudah, dan bahkan akan berekor panjang. Yang sudah pasti, cadangan devisa nasional banyak terkuras. Padahal, cadangan devisa dengan susah payah harus didulang dari aktivitasi ekspor bermacam komoditas atau produk-produk lain, yang saat ini juga tidak banyak lagi diterima di pasar global. Kecuali cadangan devisa yang kian terkuras, ekonomi nasional menjadi berantakan, sebab sektor pertanian di satu pihak, dan sektor industri di pihak lain, dari waktu ke waktu kian terpuruk.

Seperti sudah dipaparkan di atas, sektor pertanian, termasuk sub-sektor perkebunan dan sub-sektor perikanan, semakin dijauhi para petani, pekebun, dan nelayan. Apalagi areal lahan persawahan dan perkebunan pun terus menyusut, menciut. Sektor industri yang masih menggunakan bahan baku utama, atau bahan baku penolong yang masih harus diimpor, mustahil tidak semakin klimpungan dan kewalahan untuk sekadar bertahan. Pasalnya,  cadangan devisa yang diperlukan untuk mengimpor sudah menipis. Sukar bagi sektor industri bermodal relatif terbatas akan terus mampu bertahan, bila tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Nah, kasus seperti itu sudah pasti akan menambah panjang barisan rakyat urban yang termarjinalkan di kota-kota.

Ironis bangat. Dalam kondisi ekonomi nasional yang menjurus akan segera bangkrut seperti sekarang, rupanya, yah, rupanya, tidak membuat Mendag Muhammad Lutfi, yang menggantikan rekannya mantan Mendag Gita Wiryawan, merobah kebijakan impor. Padahal, Mendag Muhammad Lutfi pasti sudah tahu, betapa posisi defisit neraca perdangangan nasional pada tahun 2013 telah melonjak hingga  sekitar 150% dari defisit neraca perdagangan tahun 2012. “Gresnews Com”, pada Senin 17 Pebruari 2014 menyiarkan, belum sehari penuh berkuasa di Kemendag yang baru dipimpinnya itu, Mendag Muhammad Lutfi sudah menyatakan keinginannya hendak meneruskan aktivitasi impor komoditas-komoditas, atau produk-produk pangan. Adalah bencana alam, seperti banjir, meletusnya beberapa gunung berapi, dan tanah longsor, serta rusaknya ratusan ribu hektar areal persawahan, menjadi alasan Mendag Muhammd Lutfi untuk terpaksa harus mewarisi kebijakan impor mantan Mendag Gita Wiryawan. Walau begitu, rakyat semakin memahami, Mendag Muhammad Lutfi mustahil diharapkan akan memanfaatkan kesempatannya yang tidak cukup setahun itu, untuk menegakkan kedaulatan perdagangan nasional.

Harus diakui, laju pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2013 memang cukup tinggi, yakni sekitar 5.78%. Begitu pun, laju pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi itu sangat kurang bermutu. Buktinya, laju pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi itu tidak memberi kontribusi terhadap perluasan lapangan kerja, dan lapangan berusaha baru bagi rakyat. Itu artinya, laju pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi tersebut tidak  membawa kesejahteraan bagi rakyat. Sebaliknya, justru produksi dan alokasi berbagai surat izin Angka Pengenal Impor (API) yang diberikan pada para importir, yang rupanya lebih menarik. Karena menguntungkan pemangku kekuasaan

B. P. H. TAMBUNAN, salah seorang Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) AlIansi Nasionlis Indonesia (ANINDO)