B. P. H. TAMBUNAN :  KEJUTAN ! Memang, bisa dikata suatu kejutan ! Sudah lama bangat seluruh rakyat di bumi Garuda ini merindukan, menanti-nantikan anaknya sendiri, anak rakyat, tampil berani di tengah-tengah para orang tuanya, bahkan mungkin pula di antaranya ada yang menjadi kakeknya. Ya, tampil untuk, dan secara vokal menngungkapkan keresahannya, kekuatirannya, melihat ancaman besar terhadap eksistensi, keutuhan, ketahanan, dan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke depan. Ancaman besar yang membangkitkan keresahan, dan kekuatiran anak rakyat, yang kini masihi berstatus Panglima Tentara Nasional (TNI), berpangkat dan bernama Jenderal Moeldoko itu, adalah berkenaan fakta kian menguatnya tekanan pengaruh neo-liberalisme dalam konteks berbagai kebijakan ekonomi nasional selama era reformasi.

Keresahan, dan kekuatiran Panglima TNI jenderal Moeldoko melihat ancaman besar terhadap keutuhan, ketahanan, dan kedaulatan bangsa dan NKRI itu, diungkapkan pada 4 Pebruari 2014 di depan para Ulama di Pekalongan, Jawa Tengah (Berdikari Online, 4/2/2014). Dalam pertemuan itu, Jenderal Moeldoko tak urung mengajak para Ulama untuk menolak dengan tegas faham neo-liberalisme. Dijelaskannya juga dalam forum pertemuan yang turut dihadiri Kapolri, Jenderal Pol Sutarman itu, neo-liberalisme merupakan mekanisme ekonomi yang sepenuhnya diserahkan pada pasar bebas internasional. Hal itu, tidak sejalan dengan geopolitik ekonomi Indonesia yang menganut paham demokrasi Pancasila.

Harus diingat, tak biasanya seorang Jenderal aktif, bahkan sedang menjabat Panglima TNI secara terang-terangan mendorong khalayak banyak seperti para Ulama di Pekalongan itu, untuk maju menentang juga neo-liberalisme, Biasanya, setelah memasuki masa  purnawirawan para petinggi TNI baru mau berbicara keras, lantang, atau vokal dalam mengkritisi  situasi dan kondisi bangsa, dan negara, terkait politik, ekonomi, sosial, atau pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas).

Ajakan, atau dorongan Panglima TNI, Jenderal Moeldoko, pada Ulama di Pekalongan itu, tentu sudah sangat berdasar pengamatan dalam waktu yang relatif cukup panjang, cerdas, dan objektif. Apalagi, sebelumnya, atau tepatnya pada 27 Januari 2014 lalu,  perhatian serupa ternyata juga pernah pula dikedepann dihadapan ribuan orang mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Ketika itu, Jenderal Moeldoko mengkritisi penguasaan pihak asing atas kekayaan alam bumi Garuda, seperti minyak dan gas.

KIAN MENYENGSARAKAN

PENGAMATAN Jenderal Moeldoko terkait dengan perkembangan penerapan politik neo-liberalisme dalam berbagai kebijakan ekonomi nasinal, seperti yang  diketengahkan pada kedua forum pertemuan itu, memang, perlu menjadi perhatian, sekaligus diapresiasi.

Realitas yang terlihat gamblang dari bidang ekonomi, terutama sejak sekitar kurun 10 tahun terakhir ini, memang, bukan saja telah kian mendalam. Tapi, juga sudah semakin meninggi, dan meluas. Tegasnya, dampak negatifnya amat sangat signifikan, menggurita dan membelit ke segala sub-sektor kegiatan ekonomi yang dikreasikan rakyat. Secara perlahan-lahan tapi pasti, satu per satu usaha-usaha rakyat terkapar. Lalu kehabisan energi, lantas mati kutu. Setidaknya, kian menyengsarakan hidup dan kehidupan rakyat. Kondisi yang mengenaskan itu ditandai dari  meningkatnya jumlah orang miskin dari kalangan rakyat. Akibat kehilangan pekerjaan, bangkrutnya usaha, dan rusaknya lingkungan yang membuat fungsi lahan sektor pertanian dan perkebunan tak bisa dioptimalisasikan. Suatu catatan menunjukkan, peningkatan rakyat miskin  selama periode bulan Maret–September 2013 mencapai sebanyak 480.000 orang. Jika pada bulan Maret 2013 jumlah rakyat miskin hanya tercatat sebanyak 28.070.000 orang, maka bulan September 2013 menaik menjadi sebanyak 28.550.000 orang. Berapa pula kemunginan peningkatan orang miskin pada sepanjang bulan Oktober 2013 hingga akhir bulan Januari 2014 lalu, belum bisa diprediksi secara faktual.

Meski begitu, di tengah tragedi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap tak kurang dari sebanyak 585.547 pekerja tambang dunia usaha pemegang Izin Usaha  Pertambangan (IUP) nasional, menyusul diberlakukannya, atau akibat beratnya tekanan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 tanggal 12 Januari 2014, tidak mustahil  peningkatan rakyat miskin pada periode bulan Oktober 2013–Januari 2014 akan bisa mencapai sebanyak 900.000 orang. Perlu diketahui, PP Nomor 1 Tahun 2014 merupakan peraturan pelaksanaan Undang Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Lewat UU Nomor 4 Tahun 2009 itu diinstruksikan, perusahaan pertambangan diharuskan sudah mesti selesai membangan pabrik pengolahan dan pemurnian minerba (smelter) di dalam negeri, atau di daerah proyek pertambangan. Celakanya, dalam penerapan PP Nomor 1 Tahun 2014 itu, rezim pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhonoyono di bawah pengaruh Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Hatta Rajasa, yang Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus Calon Presiden (Capres) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, senyatanya lebih getol bersikap mengorbankan dunia usaha tambang  minerba nasional yang masih belum lama beroperasi, dengan modal relatif kecil. Sebaliknya,  pertambangan asing, antara lain PT Freeport Indonesia, dan PT Newmont Nusa Tenggara yang bermodal raksasa dan telah hampir selama kurun 40 tahun mengeruk dan mengekspor ratusan ribu ton minerba mentah, khususnya berupa bijih emas, per tahun dari Timika, Papua, dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) sungguh diuntungkan. Tanpa harus menyelesaikan pembangunan smelter, beberapa korporasi asing itu tetap saja terus dibolehkan mengekspor minerba mentah.

HARUS TUTUP, TERGUSUR

JAUH sebelumnya, tepatnya sejak diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas),  sebagai “lonceng” dimulainya sudah era liberalisasi sektor migas. Menurut UUD 1945 produk 18 Agustus 1945 Pasal 33, demi kepentingan rakyat, dalam hal ini bangsa dan NKRI, sektor migas  sepenuhnya harus dikuasai negara. Pelaksana penguasaan negara itu dipresentasikan lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN).Terutama, karena mengingat sektor migas memang merupakan salah satu sektor strategis. Diberlakukannya PP Nomor 36 Tahun 2004, yang diikuti kemudian dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 19 Tahun 2009, muncul masalah-masalah yang mempersulit peran Perusahaan Gas Negara (PGN), dan kian beratnya beban rakyat terkait harga gas yang pelan-pelan terus merangkak naik, seperti terjadi di Provinsi Jawa Barat. Naiknya harga gas, karena pasokan memang berkurang, akibat belum tersedianya fasilitas transmisi dari kawasan surplus gas, yaitu Provinsi Jawa Timur. Lebih jauh lagi, liberalisasi gas senyatanya telah memaksa berbagai industri yang membutuhkan gas di Provinsi Sumatera Utara harus ditutup, Kondisi yang menyedihkan itu terjadi pada 2003. Namun, berlanjut lagi pada 2008, dan 2013 yang baru berlalu.

Di pihak lain, pertumbuhan sub-sektor ritel modern semacam minimarket di Indonesia pun sungguh mengkuatirkan. Dalam kurun 10 tahun belakangan ini, pertumbuhan ritel modern yang di-back up korporasi internasional pengusung neo-liberalisme melonjak sekitar 400%, menjadi sebanyak 16.000 unit. Padahal, dalam periode yang bersamaan, tingkat pertumbuhan ritel tradisional yang dibangun usahawan rakyat, hanya bisa mencatat sekitar 42%, atau menjadi sebanyak 750 unit saja. Tentu saja, mudah memprediksi, betapa jauh perbedaan besar omzet yang diraup ritel modern dengan ritel tradisional. Sebagai ilustrasi dapat diungkapkan, omzet ritel modern pada tahun 2013 mencapai sebesar Rp 175 trilyun, sementara omzet ritel tradisional cuma tercatat sebesar Rp 42 trilyun. Kenaikan jumlah dan omzet ritel modern sudah terlihat berdampak super negatif. Ritel tradisional-ritel tradisional, yang pada pra hadirnya  semua ritel modern hidup  nyaman dan berjaya di berbagai kota, dari hari ke kian tergusur ke pinggiran, sampai akhirnya terpaksa pula harus rela cuma beroperasi di gang-gang, atau lorong-lorong sempit di pemukiman-pemukiman rakyat yang termarjinalkan.

SERBA IMPOR

MASIH ada 1 (satu) lagi soal. Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan  dalam produksi dan alokasi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) bagi sebuah kapal ikan berukuran 1.000 gros ton, tampaknya kurang terbuka, atau terkesan menyembunyikan suatu target. Para nelayan tradisional sangat meragukan good will kehadiran kapal ikan besar itu. Betul, sebagai sebuah negara maritim, yang menyimpan bermacam kekayaan sumber daya laut, Indonesia bukan saja perlu, bahkan harus, memiliki kekuatan Angkatan Laut yang besar, tangguh, dan super canggih. Tapi, juga, mesti berusaha memiliki  kapal-kapal ikan modern, dan besar. Guna mendukung upaya hilirisasi perikanan domestik. Begitu pun, dalam berusaha memiliki kapal-kapal ikan modern, dan besar itu, jangan pernah sampai terjadi kepentingan bangsa dan NKRI justru dikesampingkan. Soalnya, beragam kebijakan perdagangan nasional dewasa ini, tampaknya sudah lebih berorientasi impor. Beras, kacang kedelai, buah-buahan, susu, garam, dan daging sudah serba diimpor. Bahkan, ikan pun diimpor pula. Itu, itu semua menyulut pengangguran yang nota bene meningkatkan jumlah rakyat miskin secara struktural dan sistemik. Tidak heran, jika pemandangan yang terpampang di depan mata kini, rakyat memang sudah cenderung menjadi kuli di negeri sendiri. Militer, dan polisi, pun telah menjadi centeng di pabrik-pabrik perusahaan asing. Dan, tak kurang tragis, dan tentu saja memalukan, para petinggi penyelenggara negara termasuk aparatur-aparaturnya,  menjelma menjadi mirip para jongos,  yang harus senantiasa siap melayani kepentingan-kepentingan pihak asing. Jalan neo-kapitalisme dan neo-liberalisme, jelas memang berlawanan dengan arah Pancasila dan UUD 1945 rumusan 18 4gustus 1945.

Pemimpin masa depan, yang ditunggu-tunggu rakyat lewat Pilpres 2014 nanti, adalah yang figur atau tokoh yang memiliki visi, dan garis ideologi kuat dalam mengkreasikan pembangunan ekonomi nasional, sesuai Pancasila dan UUD 1945 produk 18 Agustus 1945. Dengan pemimpin seperti itu, bangsa dan NKRI akan mampu menghadapi dan sekaligus mengatasi persaingan di tingkat global.***

B. P. H. TAMBUNAN, salah seorang Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Aliansi Nasionalis Indonesia (ANINDO).