Wilhelmus Wempy Hadir :  Angin segar UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (Otda) telah memberi dampak yang luas terhadap tata kelola pemerintahan Indonesia. Landasan utama lahirnya UU Otda adalah berangkat dari keprihatinan bersama atas kondisi bangsa Indonesia yang mengalami spasial yang cukup jauh antara perkembangan pusat dan daerah. Pembangunan Indonesia yang sentralistik juga telah memicu lahirnya UU Otda tersebut. Pembangunan yang bertumpu pada pusat telah menghilangkan esensi kemerdekaan dalam konteks pemerataan pembangunan di seluruh nusantara.

Lahirnya otda disambut hangat oleh para birokrat lokal. Hal ini mempunyai alasan yang kuat karena birokrat lokal akan mengelola sendiri sumber daya alam yang ada untuk pemenuhuhan kebutuhan rakyat demi terwujudnya kesejahteraan umum. Ini merupakan misi yang sangat mulia dari otda itu sendiri.

Lantas muncul pertanyaan, bagaimana keberhasilan Otda itu sendiri hingga kini? Ini merupakan pertanyaan yang membutuhkan keseriusan untuk melacak keberhasilan Otda itu sendiri. Salah satu keberhasilan dari otda adalah pemindahan wewenang yang dulunya dimiliki oleh pusat namun pasca diberlakukan UU Otda maka daerah lah yang memiliki wewenang yang sangat luas untuk mengatur dan mengelola daerah. Otda tidak lepas dari persoalan yang menggunung.

Dalam opini Kompas, 6 Januari 2014 yang ditulis oleh Robert Endi Jaweng menuliskan bahwa setidaknya ada 305 kepala/wakil kepala daerah dan 2.000-an anggota DPRD yang tersangkut dalam tindak pidana (korupsi). Ini merupakan bukti bahwa semangat lahirnya otda telah dinodai oleh kepentingan instan para elit untuk memperkaya golongan dan diri sendiri. Perbuatan tersebut tentunya sangat bertentangan dengan cita-cita besar otda yakni memwujudkan pemerataan pembangunan di segala bidang demi terwdujudnya masyarakat Indoensia yang sejahtera. Korupsi pada tingkat lokal semakin hari semakin parah dan ini sangat berbahaya bagi kelangsungan Otda itu sendiri. Akhrinya semangat otda telah dikebiri oleh kepentingan segelintir orang. Setelah UU Otda, muncul kemudian Undang-Undang tentang Desa yang disahkan pada 18 Desember 2013.

Semangat UU Desa tentu tidak jauh berbeda dengan semangat UU Otda yakni mewujudkan pembangunan yang merata dan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Lahirnya UU Desa membawa segudang harapan namun sejuta tantangan. Harapan akan terwujudnya desa yang makmur dan mandiri tentu bisa dimaklumi karena akan ada 10 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan mengalir ke desa. Anggaran 10 % dari total APBN tidaklah kecil untuk membangun sebuah desa. Dengan anggaran 10 % tersebut, desa diberi kewenangan untuk menggunakan anggaran yang ada demi mewujudkan desa yang makmur. Tentu semua sepakat bahwa desa harus maju dan makmur. Kalau desa maju dan makmur tentu Indoneisa akan maju pula dan kemiskinan pasti akan dapat diminimalisir. Itu merupakan harapan yang ideal seperti halnya harapakan kita ketika disahkan UU Otda N0. 32 tahun 2004 yang lalu. Semua birokrat lokal bergembira dan seolah otda bagaikan munculnya oase di padang gurun. Demikian pun pejabat desa, ketika UU tentang desa disahkan maka pada saat yang sama mereka bergembira dan mengalami kegembiraan yang sungguh luar biasa. Sesungguhnya tidak ada yang melarang kalau pejabat desa bergembira dengan disahkankan UU Desa tersebut, namun yang menjadi persoalanya adalah ketika ruang yang diberikan begitu luas bagi desa dalam mengatur dan mengelolah anggaran disalahgunakan seperti halnya kepala daerah yang saya sebutkan di atas.

Tantangan yang begitu kompleks terhadap penerapan UU Desa harus menjadi perhatian bersama para pengambil kebijakan baik pada tingkat pusat maupun daerah. Jangan sampai UU Desa hanyalah proses migrasi korupsi dari daerah ke desa. Kalau ini yang terjadi maka dapat dipastikan akan banyak penyelenggara desa yang berurusan dengan hukum karena penyalahgunaan anggaran/wewenang (korupsi), apalagi kemampuan manajerial desa yang masih rendah mengafirmasi keraguan akan keberhasilan UU Desa tersebut. Masalah yang lain juga bisa muncul saat kontestasi kepala desa. Dengan adanya wewenang untuk mengelolah anggaran 10 % dari APBN menciptakan gravitasi yang kuat bagi orang di desa untuk terlibat dalam kontestasi kepala desa. Di sini akan muncul berbagai persoalan seperti halnya pemilihan kepala daerah. Persoalan money politic akan muncul dalam bentuk transaksi suara.

Dengan diberlakukanya UU Desa diharapkan para penyelenggara desa mampu menerjemahkannya dengan menggunakan anggaran sebaik dan seefektif mungkin sehingga terwujud pemerataan pembangunan sebagai wujud nyata dari kemerdekaan yang dirindukan oleh semua rakyat Indonesia. UU Desa membawa segudang harapan namun sejuta tantangan. Akan tetapi kalau penyelengggara desa jeli maka sejuta tantangan bisa dikonversi menjadi sejuta peluang. (jurnas)

Wilhelmus Wempy Hadir :   : Anggota Indonesian Working Group for An ASEAN Human Right Mechanism juga Presidium Pusat GMNI 2013-2015