Jepara – Lalu lintas di pertigaan Lebuawu tepatnya area pertokoan dekat Kantor kecamatan Pecangaan jika pagi hari cukup padat. Mulai jam 6 pagi sampai jal 8 pengendara baik roda dua dan empat datang tiada henti . Di pertigaan itu belum ada lampu pengatur lalu lintas. Oleh karena itu fihak desa membentuk satgas pengurai lalu lintas yang anggotanya adalah warga desa Lebuawu.

Salah petugas yang setiap pagi hari ngepos dipertigaan itu adalah Ghofur warga desa Lebuawu. Dari rumahnya ia berangkat sekitar setengah enam pagi . Di pertigaan itu suasana lalu lintas cukup padat . Dengan berbekal peluit ala polisi iapun  mengatur lalu lintas di pertigaan itu agar tidak terjdi kemacetan. Jika ada penyeberang jalan iapun menyetop kendaraan lalu menyeberangkan ke tepi jalan.

Pekerjaan itu dijalani sudah empat tahun bersama 6 rekannya. Ia kebagian jadwal pagi hari mulai jam 6 pagi sampai jam 8 pagi . Sedangkan jam 8 pagi sampai jam 12 siang ada temannya yang ngepos. Begitu seterusnya sampai sore hari. Sehari setidaknya ada empat orang yang bekerja di pertigaan Lebuawu ini. Sedangkan kondisi paling ramai adalah pagi hari antara jam 6 sampai jam 9 pagi.

“ Ya gimana lagi sudah ditugaskan dari desa mau tidak mau ya harus disini , selain membantu orang memang ada sedikit penghasilan. Sedikit ndak apa apa yang penting halal dan berkah “, kata Ghofur pada kabarseputarmuria.com Sabtu (27/10) .

Ghofur mengatakan , awalnya ia tukang parkir biasa diseputaran Pertigaan Lebuawu . Namun empat tahun ini ia ditarik desa untuk ikut mengatur lalu lintas di seputaran Pertigaan pertokoan Lebuawu. Dulu sebelum lalu lintas ramai tidak ada petugas yang mengatur lalu lintas . Namun semenjak adanya jalan lingkar Pecangaan Utara  dan juga pabrik pabrik yang tumbuh menjamur di kawasan ini lalu lintas jadi cukup padat.

“ Dulu memang tidak seramai sekarang  , keramaian jalan ini setelah banyak pabrik yang ad di kawasan ini setiap berangkat dan pulang kerja terjadi kemacetan karena tidak ada yang mengatur. Nah setelah ada yang mengatur terjadwal kemacetan bisa diatasi “, tambah Ghofur.

Memang kerja sebagai relawan pengatur lalu lintas ada hasilnya dari para pengendara. Mereka yang simpatik ada yang memberikan uang lelah mulai Rp 1.000 , 2.000, sampai Rp 5.000. Berapaun uang yang diberikan ia terima , jika tidak diberikan iapun tidak meminta dengan paksa. Dari uang lelah yang dapatkan setiap harinya ada pembagian . Selain untuk uang lelah dirinya juga sebagian masuk ke kas Masjid desa Lebuawu.

“ Ya tidak tentu hasilnya mas , kadang banyak kadang juga sedikit tergantung keramaian jalan juga simpatik orang . Berapapun hasilnya saya terima setelah dikurangi untuk kas Masjid yang penting halal untuk keluarga “, kata Ghofur lagi.

Adanya relawan pengatur lalu lintas seperti Ghofur dan yang lain patut diapresiasi kerjanya. Dengan kondisi petugas kepolisian pengatur lalu lintas yang terbatas membuat warga butuh relawan. Oleh karena itu perlu adanya penghargaan pada relawan pengatur lalu lintas. Misalnya dengan membentuk paguyuban sehingga ada semacam komunikasi agar mereka lebih sejahtera hidupnya. (Muin)