Demak – Hari ini Pemerintah Kabupaten Demak akan menggelar lagi ajang Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) bagi desa-desa yang saat ini masih lowong pejabatnya. Seperti yang sudah-sudah, ajang pilkades ini meskipun termasuk dalam kerangka demokrasi, namun pada kenyataannya efek yang ditimbulkan cukup beragam.
Bahkan kadang-kadang luka yang ditimbulkan dalam ajang pilkades ini butuh waktu tahunan untuk menyembuhkannya. Ada beberapa masukan yang mengusulkan bahwa ajang pilkades ini dihilangkan atau diubah sedemikian rupa agar efek yang ditimbulkan tidak berkepanjangan.
Selain itu biasanya ajang pilkades ini rentan dengan yang namanya money politic atau politik uang, tanpa uang pilkades tidak jalan baik dari segi kepanitiaan sebagai pelaksana ataupun bagi pemilih yang menggunakan hak pilihnya dalam ajang pilkades. Untuk kepanitiaan, pemerintah daerah mengalokasikan dana khusus pos penyelenggaraan Pilkades yang jika dihitung mendekati miliaran rupiah bahkan lebih, selain itu desa juga mengeluarkan pos anggaran dan besarnya tergantung dari kesepakatan bersama antara pemerintahan desa dan lembaga yang ada.
Bakal calon atau Calon kepala desa biasanya juga mengeluarkan sejumlah uang yang lazim disebut swadaya dalam rangka mensukseskan ajang pilkades di desanya. Selain biaya tersebut di atas, calon kepala desa yang akan berlaga dalam ajang pemilihan kepala desa juga harus menyiapkan sejumlah uang dalam rangka kesuksesan dirinya dalam rangka menggaet pemilih.
Biasanya hal ini telah dilakukannya jauh-jauh hari setelah dirinya dengan resmi mengikuti ajang pilkades di desanya istilah jawanya bukak lawang. Meskipun hanya sekedar menyediakan makanan kecil, minuman, rokok namun jika yang disediakan jumlah cukup banyak dan waktunya cukup panjang jika dihitung bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Selain itu layaknya ajang pemilihan apapun kita butuh juga team sukses yang dibuat juga jauh-jauh hari, inipun jika dihitung juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum nanti ketika hari H pelaksanaan Pilkades, calon juga membutuhkan uang yang cukup besar untuk membeli suara tergantung dari jumlah pemilih yang ikut memilih dalam ajang pemilihan kepala desa itu.
Harga beli suara atau kadang kadang disebut juga pengganti kerja besarnya tergantung dari harga jual bengkok yang nantinya sebagai gaji sang Kepala Desa di desa itu. Bila harga bengkok laku tinggi para pemilih memperoleh uang yang cukup besar, sebaliknya jika bengkok yang dijual tidak begitu laku uang penganti kerja bagi pemilih juga demikian.
Dari informasi yang penulis peroleh pada ajang pilkades sebelumnya, ‘uang amplop’ yang diterima oleh para pemilih nilainya berkisar antara Rp10.000-Rp100.000, bahkan ada pula calon yang nyangoni pemilihnya Rp200.000-Rp500.000 dalam rangka kemenangan dirinya.
Ini biasanya berlaku pada desa-desa yang bengkoknya cukup banyak dan harga jualnya lumayan tinggi. Sebagai contoh, ada desa yang gaji kepala desanya berupa bengkok 25 bau, setiap tahun 1 bau laku 6 juta rupiah, secara hitungan kasar gaji kepala desa tersebut Rp150 juta, jika dikalikan 6 tahun ketemu 900 juta rupiah, nah jika biaya pilkades yang dikeluarkan 500 Juta rupiah dalam hitungan angka masih untung atau modal bisa kembali.
Hal ini pernah juga penulis tanyakan pada masing-masing calon, berapa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pencalonannya sebagai kepala desa. Berbisik-bisik, mereka menyatakan angka yang cukup fantastis: Rp100-200 juta, bahkan ada yang menghabiskan dana hampir 300 juta rupiah! Lalu saya bertanya dari mana uang sebanyak itu? rata-rata mengatakan pinjam, entah pinjam saudara, teman, ataupun bank .
Lalu bagaimana dengan mereka yang gagal mendapatkan posisi sebagai kepala desa, padahal modal yang dikeluarkan sudah sedemikian banyak? Walallahu a’lam . Saya tidak bisa berpikir dari mana dia akan mengembalikan biaya semuanya itu. Mestinya sebelum memutuskan untuk mengikuti ajang pilkades mereka telah siap baik persiapan spiritual atau material dan yang penting mereka itu harus siap kalah.
Jika tidak siap kalah hal inilah yang menjadikan masalah pilkades berlarut-larut hanya karena masalah kecil saja , menjadikan ketidaksahan ajang pilkades. Apalagi jika sampai ke tingkat Pengadilan selain membutuhkan waktu yang lama juga biaya yang cukup besar lagi.
Oleh karenanya agar Pilkades bisa berjalan lancar dan menghasilkan pimpinan yang baik demi kemajuan desanya, warga desa harus mematuhi aturan yang berlaku, namun untuk urusan amplopan hal ini sudah menjadi hal yang lumrah, entah bagi-bagi duit atau money politic istilahnya itu pasti ada. ( Muin )