Kudus – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta , belum lama ini mengadakan Forum Group Discussion (FGD) bekerja sama dengan Muria Research Center (MRC) Kudus. FGD menghadirkan narasumber yakni ahli psikologi lingkungan dari Universitas Muria Kudus (UMK), Wijanarko, Tokoh Samin Kudus, Budi Santoso, dan peneliti Samin yang juga pemerhati sejarah dari STAIN Kudus, Moh.Rosyid.
FGD dengan topik ‘ adaptasi dan resistensi masyarakat adat: studi tentang Komunitas Sedulur Sikep dalam proses Modernisasi dan industrialisasi’. FGD dihadiri budayawan, seniman, dan pemerhati sejarah dari Kudus. Menurut Moh.Rosyid merupakan hal yang cukup menarik untuk didiskusikan .
Pertama, perubahan istilah dari Samin menjadi Sedulur Sikep disayangkan, mengapa? karena perubahan nama identik dengan melupakan kiprah pencetus gerakan Samin, yakni Ki Samin Surosentiko era abad ke-20 dengan nama lain atau baru, yakni Sedulur Sikep.
Kedua, sekali terjadi perubahan nama (dari Samin menjadi Sedulur Sikep) dikhawatirkan akan terjadi perubahan nama baru lagi sesuai selera penyebutan.
Ketiga, membicarakan samin identik dengan perlawanan terhadap kolonial yang merampas hak warga negara. Akan tetapi, gerakan generasi Samin kini sudah keluar dari frame/paugeran yakni gerakan yang tidak lagi memperjuangkan hak dasar wong Samin, seperti pengakuan agama Adam. Akan tetapi, gerakan yang menyuarakan aspirasi penolakan pembangunan/industrialisasi.
Padahal, tidak semua warga Samin sepakat dengan gerakan perlawanan semacam itu. Ciri khas gerakan Samin adalah pasif, privat, otonom, dan tidak berjejaring. kredonya: wong Samin weruhe te-e dewe, tidak ikut campur urusan pihak lain.
Keempat, hal yang lebih penting diperjuangkan warga Samin adalah melawan kemiskinan yang dialami warga Samin karena kegagalan pertanian karena banjir dsb. Imbas dari kegagalan panen, banyak warga Samin yang menjadi pekerja urban. Imbasnya, interaksi warga Samin dengan lingkungannya terbatas.
Untuk menggairahkan semangat warga Samin yang tetap kokoh sebagai petani, perlu sentuhan riil dari Pemerintah dengan solusi alternatif, seperti menggairahkan industri rumahan dengan kemudahan modal dan pembinaan. Hal ini telah dirintis sebagian warga Samin menjadi penjahit dan keterampilan rumahan lainnya.
Bila upaya ini sukses, harapannya, warga Samin tidak lagi menjadi pekerja urban. Akan tetapi, menjadi petani dan diperkuat dengqn penghasilan dari industri rumahan. Tanpa sentuhan itu, dikhawatirkan bahwa generasi Samin semakin enggan menjadi petani.
Longgarnya interaksi dengan dunia luar di luar pertanian, hemat Rosyid rentan terjadi perubahan paradigma Samin karena pengaruh dunia luar yang bebas dan tak terbatas. Apa pun wujudnya, komunitas samin harus diuri-uri sebagai ciri khas negara Bhinneka Tunggal Ika.****