Semarang – Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo angkat bicara soal rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok.

Ganjar menyebut hal itu keterlaluan jika direalisasikan.
“Itu belum jelas ya, tapi menurut saya kebangeten lah kalau itu dilakukan,” kata Ganjar di rumah dinasnya, Jumat (11/6/2021) malam.

Rencana pajak sembako ini tertuang dalam draft RUU Revisi UU no 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ganjar menyebut masih ada peluang RUU ini tidak disahkan.

“Oh itu kalau tidak salah draft undang-undang kan ya? Kalau undang-undang masih lama, tapi apakah seteknis itu? Saya kok tidak yakin. Jangan kebangetan lah kalau itu,” terangnya.

Sebagai informasi, pemerintah berencana untuk mengenakan tarif PPN pada barang kebutuhan pokok. Hal tersebut tertuang dalam revisi draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang beredar di media. Yang termasuk ke dalam kategori barang kebutuhan pokok, di antaranya beras, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, susu, dan telur.

Rencana soal PPN itu jelas disayangkan dan dikecam banyak pihak. Salah satunya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang heran terhadap keinginan pemerintah karena dinilai hendak mencari uang dengan mencekik rakyatnya sendiri.

“Sangat memberatkan karena pengenaan PPN terhadap sembako dan pendidikan akan menaikkan harga barang dan jasa tersebut, padahal upah tidak mengalami kenaikan. Dengan kata lain, upah tetap tapi harga barang naik, sehingga menurunkan daya beli masyarakat, termasuk buruh,” kata Ketua KSPI Said Iqbal saat dihubungi, Jumat (11/6).

Suara penolakan juga berasal dari anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Puteri Komarudin. Puteri menyebut kebijakan PPN atas barang kebutuhan pokok bisa mendistorsi proses pemulihan daya beli masyarakat yang sempat turun akibat pandemi.

“Mayoritas pedagang bahan pokok di pasar maupun warung kecil, umumnya pengusaha kecil-menengah dengan pelanggan dari kalangan yang sama. Padahal, mayoritas pembeli barang kebutuhan pokok saat ini mengalami penurunan daya beli akibat pandemi,” ujar Puteri dalam keterangan tertulis, Jumat (11/6).

“Makanya seharusnya kita fokus untuk menjaga kemampuan konsumsi bagi kalangan tersebut. Terlebih, perlu diingat bahwa komponen konsumsi rumah tangga ini menjadi kontributor terbesar yang mencapai sekitar 57% bagi perekonomian kita,” lanjutnya.

Sumber : Jurnal Panturara.id