Jakarta – Desa Merdeka : Dari situs YouTube berjudul BPMIGAS RIP berisi pidato terakhir dari Kepala BPMIGAS saat itu, Raden Priyono dihadapan para karyawan BPMIGAS yang secara samar menggambarkan skenario besar pembubaran lembaga itu.

Saat tulisan ini dibuat, video memang hanya tayang sebanyak 710 kali sejak diunggah pada  23 November 2012 silam atau 10 hari setelah bubarnya lembaga yang kini berganti menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Sumber menyebut, isi pidato itu mencerminkan betapa Priyono secara halus menyebut BPMIGAS bubar karena faktor politis, terlebih terkait agenda Pemilihan umum pada 2014 mendatang.

Video berdurasi 12 menit 17 detik itu dimulai oleh narasi yang bertuliskan,

“Atas nama NASIONALISME hidup kita masing-masing menorehkan sejarah dalam perjalanan panjang sebuah negara dan bangsa yang bernama Indonesia.

Berapa besar harga nasionalismemu? Ambilah AQUA-Danone, reguk dan nikmatilah… Itulah harga sebuah nasionalisme…”.

Sumber menjelaskan narasi itu bermakna, nasionalisme kerap didengung-dengungkan sebagai landasan bergerak tiap pihak di Indonesia. Dan pembubaran BPMigas disuarakan dan didengung-dengungkan  berlandaskan nasionalisme yang tinggi.  Bahwa, katanya, tergaung apa yang dilakukan banyak pihak di Indonesia dalam pengolahan sumber daya ditujukan untuk kemaslahatan negara, rakyat, dan bangsa di atas kata nasionalisme.

Jika berbicara soal nasionalisme, contoh yang paling sederhana adalah konsumsi produk air minum kemasan. Pasal 33 ayat 3 UUD 45 secara jelas dan nyata, disebutkan air harus dikuasai negara. Namun yang terjadi, secara komersial air kemasan dikuasai oleh asing dan MK tidak berbuat apapun untuk menegakkan nasionalisme di bidang air ini.

Pasal 33 ayat 3 UUD 45 menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sumber juga menyebut, perumpamaan itu juga mengilustrasikan murahnya harga sebuah nasionalisme karena dengan uang ribuan rupiah, air yang semestinya dikuasai negara- terjual ke pihak asing. Lewat pembelian air kemasan tersebut, kata sumber, maka uang mengalir ke luar negeri -Prancis- sebagai negara tempat perusahaan itu bernaung.

“Itu air, bagaimana dengan minyak dan gas bumi?” tulis sumber.

Narasi berikut dari video memunculkan peribahasa dalam bahasa latin beserta artinya. Narasi itu bertuliskan, “Humana vita est alea, in qua vincere tam fortuitum quam necesse perdere – Hidup manusia itu seperti permainan dadu, dimana kemenangan itu menjadi sebuah kebetulan, dan kekalahan menjadi sebuah keharusan”.

Secara lugas, sumber mengatakan frase itu menjelaskan bahwa pembubaran BPMigas  adalah sebuah grand design dari sebuah konspirasi yang paling jahat yang pernah terjadi di Indonesia.  Dengan menggunakan tangan Mahkamah Konstitusi yang menyuarakan nasionalisme dan inkonstitusional UU Migas,  BPMigas dibubarkan.

“Keberhasilan dalam  pembubaran BPMigas adalah sebuah kebetulan. Kemenangan para pihak yang berkonspirasi dalam membubarkan BPMigas adalah sebuah kebetulan. Dan terbukti, setahun kemudian apa yang dinamakan kebetulan menjadi sebuah kehancuran besar sebuah bangsa,” ujar sumber tersebut.

Sumber menyatakan, pada akhirnya, sejumlah pihak yang sukses membubarkan lembaga itu, justru terbelit masalah-masalah hukum yang terjadi belakangan. Tak dijelaskan secara rinci pihak-pihak mana yang sumber maksudkan.  Diawali tangkap tangan Kepala SKKMigas Rudi Rubiandini, kasus pembubaran BPMigas harusnya dilihat lagi .  Dan kemudian MK terlibat masalah sangat besar dengan tertangkaptangannya Akil Mochtar sebagai Ketua MK menggantikan Mahfud MD.

Video berlanjut pada kalimat yang bertuliskan, “BPMIGAS harus dibubarkan karena bertentangan dengan UUD ’45. Usia BPMIGAS barulah 10 tahun, sementara usia migas Indonesia sudah 67 tahun dari titik kemerdekaan. Dimanakah kemakmuran migas Indonesia selama 57 tahun? Selama 57 tahun sebelum BPMIGAS?”

Secara terang, sumber menyebut justru BPMIGAS merupakan lembaga produk reformasi yang mengkritisi pengelolaan migas Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Pertamina. Pada masa di bawah pengelolaan BUMN itu, lanjut sumber, justru terbukti banyak penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan migas.

Pada dua narasi tadi di video, juga muncul backsound lagu berjudul ‘I’ll Stand By You” yang dibawakan grup musik ‘The Pretenders’. Lagu itu populer pada tahun 1994 silam. Secara umum, lagu itu mengisahkan soal dukungan dan kesetiaan seseorang terhadap orang yang tengah dilanda masalah berat.

Soal lagu itu, sumber menyebut itu sebagai bentuk dukungan moril R Priyono terhadap para pegawainya yang resah gelisah karena pembubaran BPMigas dan tidak tahu apa yang terjadi masa depan.  Priyono adalah korban konspirasi pembubaran BPMigas oleh para pihak yang mengusung jargon nasionalisme dalam melakukan aksinya meski sebenarnya ingin menguasai migas Indonesia.

Secara khusus, sumber juga menjabarkan, judical review yang diajukan atas UU Migas No 22 Tahun 2001 berujung pada keputusan MK yang menyatakan BPMIGAS merupakan lembaga yang inkonstitusional.

“Tapi justru menjadi pertanyaan, mana yang inkonstitusional? UU-nya kah, BPMIGAS-nya kah, atau malah Priyono-nya? Kalau UU-nya yang bermasalah, seharusnya, BPH Migas yang belandaskan UU yang sama dengan BPMIGAS, seharusnya juga dibubarkan. Jika BPMIGAS-nya yang bermasalah, lalu diganti SKK MIGAS, kemana pimpinannya yang dulu? Kenapa harus berganti baru? Jika Priyono yang bermasalah, kenapa BPMIGAS harus dibubarkan?” tulis sumber.

Pada narasi berikutnya, hadir tulisan “Orang bijak mengatakan: “..kebohongan yang diceritakan berulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran..”. Sumber menyebut kalimat ini dimaksudkan betapa pihak yang ingin membubarkan BPMIGAS menggembar-gemborkan BPMIGAS berpihak pada asing. Check apa yang dikatakan para saksi ahli yang dipilih oleh Mahkamah Konstitusi dan siapa mereka ?

Sampaian-sampaian itu diulang di berbagai kesempatan. Secara tegas, sumber menyebut, kalimat ini ditujukan pada sejumlah pengamat per-migas-an yang menghendaki bubarnya BPMIGAS. Bahkan, kata sumber, sejumlah pakar itu menjadi saksi ahli dalam pada persidangan judicial review UU Migas,  setahun silam.

Video dilanjutkan pada tulisan yang menyebut, “Lalu? Tak ada sebuah lembagapun yang dapat menentukan masa depan migas Indonesia! Kecuali rakyat, wartawan, dan pegawai eks-BPMIGAS sendiri. Merekalah yang sebenarnya penentu, apakah dan kemana migas Indonesia akan mengalir”.

Atas kalimat itu, sumber menjelaskan, grand scenario pembubaran BPMIGAS juga melibatkan kalangan media. Hal itu terkait pada pemberitaan yang secara berulang menyebut BPMIGAS lebih condong pada pihak asing dalam pemberian kontrak kerja.

“Soal migas itu terkait tiga hal yaitu rakyat,  media, dan pegawai  BPMigas. Jika ketiga komunitas ini sudah melakukan konspirasi besar, melakukan politisasi demi kepentingan sebuah kelompok yang akan  terjadi kemudian adalah sebuah negara akan hancur.  Semua ada biayanya,” tulisnya.

Tulisan yang muncul berikutnya pada video itu adalah, “Ini memang persoalan nasionalisme, namun bukan soal NEGARA tapi persoalan BANGSA. DEMI INDONESIA SATU TAK TERBAGI…”

Soal tulisan itu, sumber lugas menulis, pembubaran BPMigas adalah sebuah konspirasi.  Pembubaran BPMigas bukanlah urusan negara, tetapi persoalan serius sebuah bangsa  yang bernama Indonesia.  Bangsa ini  mau menghancurkan dirinya sendiri dengan mengatasnamakan nasionalisme.  Meneriakan nasionalisme demi kepentingan sebuah kelompok kecil yang ingin menguasai migas. Maling yang ingin menjarah kekayaan negara dengan berteriak nasionalisme.

Tampilan berikutnya menunjukkan tulisan, “untuk sahabatku R. PRIYONO”. Sumber menyebut, video itu memang didedikasikan untuk sahabatnya, Priyono. Meski begitu, sumber tak menyebut dari instansi mana ia berasal.

Video lalu dilanjutkan oleh tayangan foto-foto ‘hari terakhir Priyono’ di BPMIGAS, tepatnya saat ia menyampaikan pidato penutup pada para karyawan BPMIGAS saat itu. dalam pembukaan pidato, Priyono menyampaikan alasan pembubaran BPMIGAS oleh MK karena dianggap inkonstitusional.

“Artinya UU Migas pun sebenarnya gak konstitusional, berlawanan dengan UUD ’45, katakanlah begitu. Padahal kita tahu bahwa UU Migas adalah produk dari reformasi. Reformasi menghendaki seperti itu. Ada check and balance dari berbagai instansi dan diperlukan -pada saat itu, saat reformasi- adanya BPMIGAS yang berfungsi sebagai wasit terhadap antar KPS, antara KPS dengan pemerintah, kemudian dengan DPR dan dengan stakeholder-nya, BPMIGAS jadi wasit,” ujar Priyono saat itu.

Priyono juga menyampaikan sejumlah prestasi yang sudah dicapai BPMIGAS antara lain berhasil menekan turunnya lifting produksi minyak hingga 3 (tiga) persen pada 2008. Padahal, kata Priyono, saat BPMIGAS terbentuk, pihaknya diwarisi pengelola migas terdahulu dengan produksi yang terus turun hingga titik 12 persen sejak tahun 2006.

Priyono juga menyebutkan prestasi lainnya, antara lain karena profesionalitas karyawan BPMIGAS, lembaga itu diakui sebagai instansi yang prudence oleh BPK dan meraih predikat WTP selama tiga tahun berturut turut. Selain itu, BPMIGAS juga disebut selama lima tahun terakhir (2007 sampai 2012) mampu menjaga target penerimaan negara seperti yang telah ditargetkan.

“Sebenarnya menjadi tanda tanya besar, apa alasannya itu (Pembubaran MK karena dinilai condong ke asing). Tapi itulah yang dinamakan dinamika, kalau saya tak mau menyebutkan, itulah politik. Karena minyak dan gas bumi tidak pernah bebas dari politik. Dalam skala kecil maupun skala besar Migas selalu kental dengan politik,” kata Priyono.

Priyono dalam kesempatan itu juga menjelaskan, BPMIGAS melalui para karyawannya telah membuktikan profesionalitas yang mengerti industri migas. Ia menyebut, apapun nantinya BPMIGAS berganti nama atau wujud, lembaga semacam itu akan tetap dibutuhkan.

“Rumahnya masih diperlukan, apapun namanya. Dan tentu saja yang mengisi institusi tadi tidak bisa diambil dari pinggir jalan. Yuk, kita gabung yuk sama institusi apalah namanya, kita ambil dari Plaza Senayan, kita ambil dari Monas, tidak bisa,” ujar Priyono.

Priyono juga menyebut pembubaran BPMIGAS sebagai dinamika politik jelang agenda besar di tahun 2014.

“Saya tidak mengatakan, bahwa ya inilah kalau mau ke 2014 ya seperti ini begitu. Tapi kita sudah melihat nuansa perubahan yang luar biasa,” kata Priyono.

Video diakhiri oleh ujaran Priyono yang menyebut akan memperjuangkan hak profesional karyawan eks-BPMIGAS. Ujaran itu disampaikan Priyono sambil menangis. Seolah mempertegas kesedihan, video menampilkan backsound dan lirik lagu dari grup musik ABBA berjudul, “The Winner Takes It All,”.

“Pemenang mengambil semuanya, ada hikmah di balik lagu itu. Siapa yang bakal jadi pemenang? Siapa yang akan mengambil semuanya? Apakah rakyat atau segelintir pihak atas nama nasionalisme yang didengungkan? Apa ini terkait Pemilu 2014? Lihat saja episode selanjutnya,” kata sumber menutup tulisan. (tribun)