PEKALONGAN — Para musryid dan ulama tarekat dari berbagai kalangan, mendeklarasikan organisasi bernama Jam’iyyah Ahlussunnah al-Mu’tabarah Ahlussunnah wal Jamaah (Jatma Aswaja).
Organisasi ini lahir pada 17 Ramadhan 1446 H lalu, yang sudah resmi disahkan oleh Kementerian Hukum melalui Keputusan Menteri Hukum Nomor AHU-0001630.AH.01.07.Tahun 2025, tentang Pengesahan Pendirian Perkumpulan Jamiyyah Ahlith Thariqah Almutabarah Ahlussunnah Wal Jamaah.
Organisasi ini dikomando Dr. (H.C.) Muhammad Lutfi bin Yahya (Maulana Habib Lutfi) sebagai Ketua Umum dan Dr. H. Helmy Faishal Zaini sebagai Sekretaris Jenderal.
Jatma Aswaja dideklarasikan di Kanzus Shalawat Pekalongan, pada Jumat, 18 April 2025 dihadapan puluhan ribu jam’iyyah yang menghadiri Dzikir dan Pengajian Jumat Kliwon.
Wakil Sekjen Jatma Aswaja M. Hasan didampingi Maulana Habib Luthfi bin Yahya dan Sekjen Helmy Faishal Zainidan jajaran pengurus, membacakan Ikhbar peresmian Jatma Aswaja di hadapan puluhan ribu jamaah.
Sekjen Jatma Aswaja Helmy Faishal Zaini menjelaskan bahwa organisasi ini dibangun di atas dua pilar utama, yakni pertama, membangun transendentalisme dan kedua, pemberdayaan ekonomi ummat.
“Menjadikan thariqah sebagai jalan penguatan hubungan antara hamba dan Allah. Dalam dunia yang penuh distraksi, manusia membutuhkan ruang sunyi dan thariqah menyediakan ruang itu secara sistematis,” katanya.
Pihaknya melanjutkan, dzikir, suluk, dan adab kepada mursyid bukanlah praktik yang asing dari kehidupan sosial, tetapi justru menjadi fondasi kesalehan publik.
“Jatma Aswaja mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali pada tradisi dzikir berjamaah, pengajian thariqah, dan penguatan sanad keilmuan serta ruhaniyah,” ungkapnya.
Selain itu ia menjelaskan bahwa spirit thariqah tidak anti-dunia. Sebaliknya, thariqah mendorong umat untuk memakmurkan bumi.
Maka, Jatma Aswaja berkomitmen menjalankan dakwah integral: menyucikan jiwa dan memandirikan ekonomi. Melalui jaringan koperasi, pemberdayaan UMKM, hingga gerakan filantropi berbasis pesantren dan zawiyah.
“Jatma Aswaja ingin memastikan bahwa para pengamal thariqah tidak hanya kuat secara ruhani, tetapi juga tangguh secara ekonomi dan sosial,” tegasnya.
Selanjutnya, menurut Helmy Faishal, JATMA Aswaja berdiri di atas nilai-nilai Islam Wasathiyah—konsep Islam pertengahan yang menolak ekstremisme dan keberagamaan yang kaku.
Prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), dan i’tidal (adil) menjadi nilai yang tak terpisahkan dari praktik thariqah sejak dulu,” jelasnya.
Sekjen Helmy Faishal mengungkapkan, bahwa para mursyid Thariqoh mengajarkan bahwa beragama jangan sampai kehilangan kontak dengan realitas.
“Karena esensi beragama adalah mengajarkan tentang generosity, yakni sikap kedermawanan, yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Ini menjadi penting untuk konteks global dan domestik sekarang ini, yang relevan dengan kondisi bangsa,” terangnya.
Sekjen Jatma Aswaja Helmy Faishal Zaini menjelaskan bahwa para mursyid thariqah, sejak zaman Walisongo hingga hari ini, telah menjadi penjaga keindahan Islam melalui pendekatan yang lembut, santun, dan merangkul.
JATMA Aswaja dikatakannya berkomitmen untuk meneruskan warisan itu. Yakni menjaga harmoni antarumat, merawat keberagaman dalam bingkai ukhuwah insaniyah, dan meneguhkan kembali akhlakul karimah sebagai ruh peradaban.
Pendirian Jatma Aswaja, menurut Helmy Faishal, bukan sekadar pembentukan struktur organisasi. Namun Jatma Aswaja merupakan penanda zaman bahwa spiritualitas Islam masih memiliki tempat di tengah dunia yang serba cepat dan dangkal. Ia adalah suara para pecinta Tuhan, yang berjalan dalam diam tapi mengubah banyak hal.
“Melalui Jatma Aswaja, akan lahir generasi baru pengamal thariqah yang tidak hanya fasih dalam wirid dan dzikir, tapi juga bijak dalam memimpin umat, adil dalam bermuamalah, dan kokoh dalam menjaga bangsa dari polarisasi dan perpecahan,” terangnya.***