Made Nurbawa – Desa Merdeka : Setelah rampungnya pembahasan RUU Desa oleh DPR RI (rencananya disahkan tgl 19 Des 2013 ini), bisa jadi kehadiran UU Desa ini salah satu UU yang cukup berpengaruh terhadap tata kelola pemerintahan di dearah (desa, kabupaten/kota dan provinsi). Salah satunya yang cukup krusial adalah menyangkut alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke desa, ditetapan 10% dari dan diluar transfer daerah.  Juga masa jabatan kepala desa selama 6 tahun dan bisa menjabat selama 3 periode. UU Desa ini juga mengatur pola kerjasama antar desa, penggabungan desa, lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat, pemerintahan desa, kewajiban dan kewenangan desa, keuangan desa, sistem informasi, badan usaha milik desa dan lain sebagainya.

 Terkait dengan kelembagan adat, walupun pasal dalam RUU ini sudah mengatur kelembagaan adat/desa adat, namun posisi lembaga adat dalam draf RUU desa ini masih terkesan “lembaga kemasyarakat” saja-setara dengan ormas, kelompok Ibu-ibu PKK atau karang taruna saja (semoga saya salah). Padalah misalnya; di Bali kedudukan desa adat memiliki “hak otonomi asli” dalam tatanan, mekanisme dan pengaturan rumah tangganya sendiri.

 Menyangkut penataan kawasan dan/atau wilayah desa, di Bali wilayah desa dinas dengan wilayah desa adat tidak selalu sama. Bahkan ada satu desa adat  berada di wilayah lintas kecamatan, lintas desa dan bahkan ada antara desa adat dan desa dinasnya berada di dua kabupaten yang berbeda. Dalam hal peraturan daerah, kehadiran UU Desa ini akan menuntut banyak revisi perda dan atau peraturan lain yang berlaku.

 Kondisi diatas tentu akan membutuhkan penyelasaran aturan yang sudah ada di daerah. Yaitu menyangkut masalah “kewenangan” dan “keuangan” di desa. Terkait dengan dana khusus 10% dari transfer daerah (seperti dana perimbangan, subsidi dan dana mengikat lainnya). Sementara dalam RUU ini sepertinya kewenangan pengelolaan keuangan desa adalah desa melalui Peraturan Desa yang dilaksanakan oleh Kepala Desa-berarti secara kedinasan. Walaupun di Bali, anggota BPD desa umumnya sudah terdiri dari perwakilan kelembagan adat, namun urusan desa adat tidak selalu urusan pengelolaan keuangan dalam hal infrastruktur saja, pisik saja atau operasional saja. “Urusan desa adat banyak menyangkut hal-hal yang bukan pisik”. Dalam kasus ini dibutuhkan kesepahaman oleh anggota BPD, aparatur desa termasuk pemerintah daerah dalam mengharmoniskan kebutuhan dan tatanan “otonomi asli” desa adat setempat. Jangan sampai pengertian dan paradigma (baca keyakinan-red) tentang “desa” berubah karena “kucuran uang” APBN diatas.

 Desa dalam spirit masyarakat adat bukan sekedar batas-batas administrasi. Begitu juga dalam hal pertangungjawaban dan pengawasan pengeloan keuangan. Secara kedinasan mungkin sudah benar, tetapi secara etika dan tatanan adat bisa jadi berbeda. Kondisi ini tentu tidak akan bermasalah di daerah (provinsi atau kabupaten/kota) dimana antara desa dinas dan desa adatnya diakui dan dihormati serta kedudukannya sudah relative setara.

 “Jika tidak hati-hati, kebiasaan mengelolan keuangan secara kedinasan oleh masyarakat adat secara langsung atau tidak akan berpengaruh terhadap keyakinan dan paradima adat. Hal ini akan berpengaruh juga dalam pemberian sanksi jika ada pelanggaran”. Jangan sampai pengurus desa adat banyak yang terjebak hukum karena keliru mengelola keuangan negara.

Dampak UU Desa ini terkait dengan penghormatan dan pemberdayaan kelembagaa/desa adat sepertinya masih menemui PR besar jika antara desa dinas dan desa adat tidak berada dalam Visi yang sama. Atau kondisi kelembagaan adat yang relative lemah justru lama-kelamaan akan “”tergiring” atau bergeser dalam logika desa dinas. “Atau yang terjadi tidak lebih sebatas program/proyek desa dinas di wilayah adat atau program kedinasan yang beratribut adat saja”.

 Sementara kearifan adat malah tidak berkembang dan diyakini (kondisi ini sudah lama berjalan di Bali hingga sekarang). “Jangan sampai UU Desa ini kelak malah menjadi “pintu masuk” derasnya pergeseran desa adat menjadi desa dinas sesungguhnya (melemahnya desa adat karena dana desa belum akomudatif terhadap program dan potensi desa adat)”.  Ingat, keberadaan desa adat terbentuk secara turun temurun, bukan sebatas persyaratan administrasi atau peraturan negara yang berlaku.

 Mudah-mudahan UU Desa ini kelak bisa memperkuat keduanya. Karena soal limpahan dana besar ke desa di “era ekonomi kapitalis” saat ini, uang bisa menjadi faktor produksi dan berpengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat desa. Dalam hal pembentukan usaha milik desa misalnya, peningkatan pendapatan masyarakat berbanding lurus dengan meningkatnya “konsumsi dan untuk konsumsi”.

Maksud saya meningkatnya pendapatan masyarakat karena ketersediaan modal usaha di desa, lama kelamaan masyarakat desa dengan pendapatan yang meningkat justru semakin meningkatkan konsumsi pula. Apalagi ditengah pasar bebas dimana pasar menyajikan barang-barang murah yang berkualitas. Kalau begitu sangat mungkin terjadi desa adat bukan malah semakin exsis, tapi masyarakatnya semakin konsumtif. Artinya desa adat malah berubah menjadi pasar baru ekonomi global seperti yang diharapkan oleh kesepakatan “Paket Bali”- WTO.  Dan masih banyak kondisi ambivalent lainnya.

Mudah-mudahan para caleg dan DPD pada Pemilu 2014 nanti jika terpilih, benar-benar mampu menjadi “diplomat budaya nusantara” untuk mendudukan kesetaraan spirit masyarakat adat dan dinas di era global ini. Mari kita renungkan dan kaji kembali sebelum ke Senayan!!!.

 Made Nurbawa

( Tabanan, 13/12/2013 / metrobali.com )