Jepara – Apa yang terlintas pertama kali jika mendengar kata bondo ? Pasti sebagian langsung memiliki keakraban dengan destinasi pantainya, sudah pernah kesini ? Pantai tidak pernah lepas di sematkan dengan desa pesisir mungil yang berlokasi di salah satu kecamatan kota jepara ini.

Yakk warga sekitar sedang gencar gencarnya untuk memajukan dan memanfaatkan ke elokan salah satu ciptaan Tuhan itu hahaha. Berbagai macam inovasi inovasi dengan kearifan lokal     semakin dipergiat.

Untuk apa ? Tentu untuk menarik minat wisatawan lokal ataupun pendatang agar ‘tau’ jika pantai yang dulunya seringkali menjadi sasaran pembuangan limbah ini sudah menjelma dengan eloknya.

Pantai bondo memang menawarkan spot spot foto yang instagramable (btw bener ngga sih penulisannya ?) Kalo definisi anak jaman now.

Dari sudut ke sudut banyak secali cafe berjejer dan berlomba lomba mengangkat tema semenarik mungkin untuk mendapat konsumen. (Hukum ekonomi ) tidak heran jika pantai kecil tersebut seringkali digadangkan dengan asumsi “lokal citarasa bali” sedikit lucu tapi pada kenyataannya memang iya.

Tidak perlu lagi ke kuta buat cita cita menunggang kuda di tepi pantai eakkk. Apalagi ekspetasinya bareng doi. Uhuyy. Bondo sudah menyediakan kuda tunggang yang siap mewujudkan ekspetasimu agar tak lagi jadi wacana.

Hal indah indah yg tak boleh ketinggalan adalah “sunset” bagi pecandu senja akut tak afdol jika melewatkan jam dindingnya Tuhan ini dengan sia sia. Ahh tidak usah dibayangkan. Langsung aja diwujudkan. Pihak pengelola hanya membandrol tiket masuk seharga 5.000 rupiah saja untuk sepeda motor dan 10.000 rupiah untuk mobil. Kurang merakyat apalagi coba ?

Dibalik segala keindahannya tidak adil jiga hanya sisi menyenangkannya saja yang di tampakka. Menurut pandangan keadaan saat ini (argumen pribadi ) seharusnya segala bentuk apresiasi yang disematkan itu tidak lantas membuat pengelola abai dan seakan tutup mata dengan kelangsungan definisi “pantai” yang semakin hari jauh dari arti pantai itu sebenarnya.

Bagaimana tidak ? Dengan adanya jejeran cafe cafe mini yang mendesak dan memaksa “menambak” atau membendung daerah teritorial ombak menjadi semacam kolam. Hal itu sangat disayangkan . Karena sudah tidak termasuk golongan memajukan tapi lebih cocok dengan definisi pemaksaan.

Yang berujung semakin lenyapnya identitas pantai itu sendiri. Beberapa tahun yang lalu, kita ke pantai dengan tujuan berenang atau paling tidak menyusuri pantai dengan kaki telanjang. Lalu bagaimana dengan sekarang ?  Bayangkan saja jika kita harus mengenakan celana kolor dan main air di depan orang orang yang sedang bersantai ria dan ngopi di kedai ? Apa hal itu tak menjadi doktrin tersendiri bagi masyarakat jika hukum “pakai baju bagus” buat pergi ke pantai (Nur Syamsiyah Aini, PAI, UNISNU Jepara)