Padang – Desa Merdeka : Pemprov Sumbar menjamin kehadiran Undang-undang Desa akan menguntungkan Sumbar. Na­mun, Ketua Lembaga Kera­patan Adat Alam Minang­kabau (LKAAM) Sumbar M. Sayuti Datuak Rajo Panghulu bersikukuh akan mengajukan judicial review UU yang di­sah­kan Desember 2013 itu.

LKAAM beralasan, UU Desa tersebut tidak taat asas serta berpotensi menim­bul­kan kon­flik horizontal dalam ma­sya­rakat nagari. Sedangkan, Pansus Rancangan UndangUndang Desa (RUU Desa) mempersilakan LKAAM Sumbar mengajukan judicial review.

Pansus optimistis Mahkamah Konstitusi (MK) akan menolak gugatan LKAAM Sumbar terse­but, karena LKAAM Sumbar dianggap mengupas dari draft RUU Desa, bukan UU Desa yang telah disahkan.

“Kami tetap dengan komit­men, akan melakukan judicial review UU Desa yang baru saja disahkan DPR RI 18 Desember 2013. Walau, UU Desa tersebut diklaim jauh lebih baik diban­dingkan aturan yang telah ada,” ujar Ketua VI Bidang Hukum LKAAM Sumbar Bachtiar Abna Dt Rajo Sulaiman, saat diskusi publik membaca undang-un­dang desa, di hotel Grand Zuri kemarin (7/1).

Ia mengatakan, UU yang ada saat ini masih bersifat sentralistik, tidak taat asas dan tidak konsisten. Di samping itu, UU Desa juga bersifat mendua dan kolonial. Selain itu, istilah desa sudah dianggap ketingga­lan zaman.

Dalam UU Desa yang disah­kan DPR RI terdiri dari 19 BAB, 96 pasal dan 240 ayat. Dengan dirincinya aturan dalam un­dang-undang tersebut, maka semakin bersifat kolonial. Pe­mi­sahan antara desa/nagari adat dengan desa (nagari pe­me­rintahan) menyebabkan terja­dinya konflik horizontal dalam masyarakat nagari di Sumbar, terutama antara pim­pinan lembaga adat dengan pimpinan lembaga pemerintahan berkenan dengan mengurus dan mengatur masyarakat setem­pat, penguasaan aset nagari adat dan pemungutan retribusi ( bunga ameh, bunga pasie, bunga amping (sawah/ladang).

“Demi uang akan terjadi perpecahan dan pemecahan suatu nagari adat menjadi beberapa nagari pemerintahan. Nagari Koto Salak di Dhar­masraya dijadikan satu keca­matan dan dipecah-pecah. Di Sumbar sendiri meskipun telah ada Perda No 2 Tahun 2007 , namun kota-kota di Sumbar tidak mau beralih ke peme­rintahan nagari,” ujarnya.

UU Desa ini lahir, karena DPR RI masih menganut fa­ham legisme abad 19 , bahaya­nya hukum itu hanya peraturan perundang-undangan dan aler­gi mengakui hukum adat seba­gai hukum khusus yang telah ada. LKAAM Sumbar me­nya­rankan agar republik kembali ke hukum rakyat dengan mene­tapkan hukum adat sebagai hukum khusus serta mengakui masyarakat hukum adat (MHA)  teritoral dan genelogis teritorial sebagai pelaksana pemerintahan dengan m­e­nam­bah kewenangan mereka de­ngan kewenangan pemerintah baik legislasi, aplikasi  maupun yudikasi hukum .

“Atas dasar pertimbangan itu, kami tetap akan meng­ajukan judicial review tersebut. Kami merasa, keberadaan UU Desa tersebut akan menim­bulkan perpecahan,” ujarnya. (theglobejournal)