Wakatobi – Desa Merdeka : Undang-undang (UU) Desa 2013 yang disahkan DPR  pada 19 Desember 2013 dinilai dapat menjadi pemicu utama konflik di desa, baik dalam satu wilayah desa maupun antardesa. Pasalnya, dengan UU Desa, setiap pemerintah desa bisa membuat peraturan desa sendiri.

“Peraturan desa yang akan dibuat pemerintah desa sangat mungkin berbenturan dengan peraturan daerah yang dibuat pemerintah kabupaten (pemkab) maupun dengan peraturan desa-desa tetangga. Kalau itu terjadi, hampir dipastikan akan timbul konflik antardesa maupun di tengah masyarakat desa itu,” kata Hugua, Bupati Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra), dalam percakapan dengan SH di Kendari, Senin (6/1).

Ia mengatakan, peraturan suatu desa bisa menghambat akses ekonomi atau menutup sumber pendapatan warga desa lain, terutama desa-desa yang berada di pesisir pantai. Itu karena melalui peraturan desa, tidak tertutup kemungkinan setiap desa akan melarang warga desa lain mengambil potensi sumber daya alam di wilayah desa bersangkutan.

“Itu yang akan memicu timbulnya konflik antardesa. Jika konflik yang timbul tidak segera diredam, bukan tidak mungkin akan memicu permasalahan sosial yang lebih krusial dan mengancam perpecahan masyarakat di tingkat desa,” dia menuturkan.

Menurut Hugua, selain menimbulkan masalah di tengah masyarakat desa, penerapan UU Desa bisa menghambat pembangunan sejumlah infrastruktur, terutama jalan dan jembatan yang menghubungkan antarwilayah kabupaten maupun antarwilayah kecamatan hingga ke desa.

Masalahnya, ia menjelaskan, dengan UU Desa, sebagian besar dana yang akan digunakan pemerintah kabupaten untuk membangun sejumlah infrastruktur dasar sudah tersedot ke desa melalui ADD.

“Kalau kami di Wakatobi memberikan dana ADD sebesar Rp 1 miliar per desa, sekitar Rp 100 miliar lebih dana APBD Wakatobi hanya habis di desa. Lalu, untuk membangun jalan yang menghubungkan antarwilayah desa dan antarwilayah kecamatan, kami akan ambil dana dari mana? Kan itu yang akan jadi masalah serius bagi pemkab,” ujar dia.

Anggota DPRD Sultra, Hasid Pedansa, menilai UU Desa 2013 sarat kepentingan politik dari anggota DPR  yang mengesahkan UU tersebut. Menurut dia, anggota DPR yang mengesahkan UU Desa 2013 hanya untuk kepentingan politik mereka yang masih menjadi calon anggota legislatif (caleg). Itu agar bisa terpilih kembali menjadi anggota DPR.

“Dengan mengesahkan UU Desa, anggota DPR yang kembali menjadi caleg berharap bisa mendapat simpati dan dukungan suara dari para kepala desa yang mendapatkan dana Rp 1 miliar per tahun,” kata dia.

Menurut Hasid, penerapan UU Desa hanya akan menimbulkan masalah di tengah masyarakat desa, terutama bagi mereka yang menjabat kepala desa dan perangkat. Masalahnya, para kepala desa yang hanya tamatan SMP atau SMA tidak akan mampu mengelola ADD yang nilainya mencapai Rp 1 miliar.

“Bagaimana mungkin kepala desa yang hanya tamatan SMP atau SMA  bisa menjalankan tanggung jawabnya sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), seperti kepala dinas di lingkup instansi pemerintah kabupaten atau provinsi. Itu kan butuh waktu lama bagi kepala desa untuk belajar mengelola ADD  yang cukup besar itu,” ia mengungkapkan.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida menyatakan, UU Desa merupakan solusi pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat, sesuai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Menurut Laode, disahkannya UU Desa oleh DPR  akan membawa perubahan penting dalam paradigma pembangunan daerah. Itu karena kepala desa bersama Badan Permusyawaratan Desa bisa merencanakan sendiri pembangunan yang akan dijalankan di desanya.

Meski demikian, ia tidak menampik UU Desa tersebut berpotensi memunculkan konflik atau permasalahan politik dan sosial terbatas di desa. Menurut dia, adanya kepastian ADD, diperkirakan akan memicu figur-figur potensial di desa untuk memperebutkan jabatan kepala desa, termasuk jabatan perangkat desa secara tidak sehat.  (sinarharapan)